Langkah-langkah transformatif yang diambil oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim telah menegaskan tekad pemerintah dalam memajukan sistem pendidikan tinggi yang lebih adaptif, relevan, dan efisien. D
alam acara peluncuran Episode ke-26 program Merdeka Belajar, Nadiem menyampaikan perubahan signifikan terkait syarat kelulusan mahasiswa, terutama pada tingkat sarjana (S1) dan sarjana terapan (D4).
Peraturan sebelumnya yang mempersyaratkan penulisan skripsi sebagai bagian dari kelulusan dihapuskan. Nadiem menjelaskan bahwa aturan sebelumnya telah memisahkan dan merinci kompetensi sikap serta pengetahuan, sehingga skripsi menjadi suatu keharusan.
Namun, saat ini, pilihan lain yang lebih variatif disediakan untuk menunjukkan kemampuan lulusan perguruan tinggi.
Dalam konteks ini, perubahan-perubahan tersebut memberi pertanyaan yang wajar: apa pengganti skripsi sebagai syarat kelulusan mahasiswa? Nadiem menjelaskan bahwa syarat kelulusan S1 dan D4 akan ditentukan oleh kepala program studi (kaprodi) di setiap perguruan tinggi.
Hal ini telah diatur dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Artinya, skripsi bukan lagi satu-satunya pilihan, dan mahasiswa memiliki lebih banyak cara untuk menyelesaikan tugas akhir mereka.
Nadiem menegaskan bahwa aturan ini tidak menghapuskan kemungkinan penulisan skripsi, tesis, atau disertasi. Setiap perguruan tinggi bebas menentukan standar kelulusan yang sesuai.
Pemikiran ini sejalan dengan semangat perubahan. Di bawah Peraturan Mendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023, sejumlah syarat kelulusan yang diterapkan untuk mahasiswa telah dijabarkan.
Pada program diploma tiga (D3), mahasiswa dapat memilih bentuk tugas akhir dalam bentuk prototipe, proyek, atau tugas akhir serupa, baik secara individu maupun kelompok.
Pada program sarjana (S1) dan sarjana terapan (D4), tugas akhir dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk serupa lainnya, baik individu maupun kelompok. Selain itu, perguruan tinggi juga dapat menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lain yang menunjukkan kompetensi lulusan.
Pada tingkat magister (S2), tugas akhir dalam bentuk tesis, prototipe, proyek, atau bentuk serupa diwajibkan. Pada tingkat doktor (S3), tugas akhir berbentuk disertasi, prototipe, proyek, atau bentuk serupa juga diwajibkan.
Walaupun mahasiswa program magister dan doktor tetap harus menyelesaikan tugas akhir, mereka tidak lagi diharuskan menerbitkannya di jurnal ilmiah. Namun, di tengah semua perubahan ini, pertimbangan utama tetap berpusat pada kualitas. Nadiem mengungkapkan bahwa sejauh ini banyak kendala yang muncul terkait tugas akhir, baik dari perspektif perguruan tinggi maupun mahasiswa.
Keterbatasan waktu dan tuntutan penulisan skripsi sering kali membatasi perguruan tinggi dalam merancang proses pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan keilmuan.
Dalam realitas yang terus berkembang, penting bagi perguruan tinggi untuk dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Oleh karena itu, terciptanya fleksibilitas dalam penentuan tugas akhir menjadi langkah penting dalam memberikan mahasiswa kesiapan yang lebih baik dalam menghadapi tantangan dunia profesional.
Nadiem menyampaikan bahwa tidak semua program studi dapat mengukur kompetensi mahasiswa melalui skripsi. Misalnya, program studi vokasi yang menitikberatkan pada keterampilan teknis akan lebih cocok dengan bentuk tugas akhir seperti proyek atau bentuk lain yang serupa. Program studi akademik pun memiliki variasi dalam mengukur kemampuan mahasiswanya. Oleh karena itu, program studi yang telah menerapkan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran serupa berhak untuk tidak mengharuskan skripsi sebagai syarat kelulusan.
Transformasi yang dilakukan ini tidak hanya memberikan fleksibilitas yang lebih besar bagi mahasiswa dan perguruan tinggi untuk mengeksplorasi berbagai jenis tugas akhir, tetapi juga membawa dampak positif dalam mengatur standar mutu pendidikan.
Dalam konteks proses akreditasi, perguruan tinggi memiliki kesempatan untuk mempresentasikan argumen yang menggambarkan kompetensi mahasiswa selama masa studi. Kualitas pembelajaran yang diberikan sepanjang perjalanan akademik juga dapat dijadikan bukti konkret dalam mendapatkan pengakuan atas mutu pendidikan.
Dengan demikian, langkah-langkah transformasi ini memberikan landasan kuat bagi perkembangan sistem pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan responsif terhadap dinamika perkembangan zaman.
Dalam suatu era di mana perubahan menjadi konstan, pendidikan juga harus berubah sesuai dengan kebutuhan. Transformasi ini memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar menghilangkan persyaratan penulisan skripsi. Ia menggambarkan semangat untuk menciptakan lingkungan belajar yang memungkinkan mahasiswa untuk berkembang sesuai dengan potensi unik mereka.
Mahasiswa tidak hanya dihadapkan pada satu pilihan, tetapi memiliki kebebasan untuk memilih jenis tugas akhir yang paling sesuai dengan bakat, minat, dan kompetensi mereka.
Proses akreditasi yang melibatkan perguruan tinggi juga menjadi lebih dinamis. Melalui argumen yang disajikan, perguruan tinggi mampu menunjukkan sejauh mana kompetensi mahasiswa telah berkembang selama masa studi.
Ini menciptakan kesempatan bagi perguruan tinggi untuk berperan aktif dalam merumuskan standar kualitas pendidikan, bukan hanya mengikuti aturan yang sudah ada. Dengan demikian, perguruan tinggi memiliki peran lebih besar dalam mengarahkan kualitas pendidikan yang diselenggarakan.
Pentingnya kualitas pembelajaran yang disampaikan selama studi tidak dapat diabaikan. Fakta bahwa hasil pembelajaran tersebut dapat dijadikan bukti dalam proses akreditasi menunjukkan betapa pentingnya kualitas ini.
Pendidikan yang memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan mendalam bagi mahasiswa memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Perguruan tinggi yang mampu menyediakan lingkungan yang mendukung pembelajaran aktif dan reflektif akan mendapatkan pengakuan mutu yang lebih tinggi.
Transformasi ini membuka jalan bagi pengembangan pendidikan yang lebih inklusif, adaptif, dan responsif terhadap tuntutan zaman. Inklusifitas tercermin dalam beragam pilihan tugas akhir yang disediakan, mengakomodasi berbagai bakat dan minat mahasiswa.
Adaptifitas muncul melalui kemampuan perguruan tinggi untuk merespon kebutuhan dan perubahan dalam dunia kerja dan masyarakat. Responsifitas tercermin dalam pengakuan atas mutu pendidikan yang bersumber dari kualitas pembelajaran yang nyata.
Dalam keseluruhan, transformasi ini merupakan pijakan kuat bagi perbaikan sistem pendidikan. Ini bukan hanya tentang menghapuskan suatu persyaratan, tetapi tentang memberikan kesempatan untuk menggali potensi dan memberikan pembelajaran yang bermakna bagi setiap mahasiswa.
Melalui proses akreditasi yang lebih dinamis, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab untuk membentuk dan menjaga standar mutu pendidikan. Sehingga, pengembangan pendidikan yang inklusif, adaptif, dan responsif terhadap perkembangan zaman dapat terus terwujud.
Ditulis oleh: Andhika Wahyudiono
Dosen UNTAG Banyuwagi