14 Februari 2024 lalu, saya mencoblos sambil menggendong anak saya di bilik suara. Memang baru 1,5 tahun umurnya, tapi dia berhak menyaksikan dan belajar apa saja sejak dini. Termasuk hajat besar demokrasi. Meski sudah pasti dia tidak mengerti.
Sambil mencoblos saya bilang begini kepadanya, ”Le, ini namanya pemilu. Mama sebagai rakyat sedang memilih calon pemimpin yang menurut Mama benar. Tapi, kalau nanti jagoannya kalah, semoga yang menang amanah. Semoga ketika waktunya tiba, kamu bisa menggunakan hak suara dengan benar.”
Suasana tahun politik bagi saya sendiri terasa panas. Dahulu ketika masih liputan di Jakarta, saya sepaneng kala pilkada atau pemilu tiba. Karena harus pontang-panting update isu-isu politik yang biasanya makin runcing jelang pemilihan. Kini, ketika saya sudah menjadi ibu, rasa khawatir saya menjadi-jadi.
Apalagi strategi kampanye bertransformasi ke digital. Salah satunya diwujudkan melalui jejaring sosial. Dari data BPS tahun 2022 saja, ada 80 persen lebih anak di atas usia 5 tahun mengakses internet. Jika anak-anak memakai media sosial, artinya mereka berpeluang terpapar algoritma kampanye. Hal ini patut menjadi alasan setiap orang tua membangun budaya literasi politik sesuai usia anak.
Tidak ada kata terlalu dini, jika tujuannya adalah untuk pendidikan. Ini juga berlaku untuk pengetahuan politik. Gen Z dan Gen Alpha nanti menjadi penentu arah bangsa. Tanpa pengetahuan politik yang diajarkan dengan benar, mereka bisa saja gagal paham seberapa berharga suara rakyat dalam negara demokrasi.
Selain itu, setiap anak harus dilindungi dari ujaran kebencian antarpendukung politisi. Anak perlu diberi ruang interaksi yang aman untuk menanyakan isu politik, serta memperoleh jawaban objektif dari para pemilik hak suara.
Sering saya alami, orang-orang dewasa ujug-ujug membahas pilpres sambil beropini negatif kepada paslon lawan, tapi lupa waktu dan tempat. Serta mengesampingkan anak-anak yang mungkin saja mendengar tanpa tahu maksudnya.
Iklim politik boleh panas. Namun anak harus tetap hidup tenteram dan bahagia tanpa terpengaruh rivalitas pendukung politisi. Inilah wujud politik riang gembira yang seharusnya dirasakan anak.
Tahun politik bisa jadi momentum orang dewasa untuk memberikan literasi politik kepada calon-calon pemilih di masa depan. Anak belajar menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai yang diusung politisi, bukan salah fokus mendewakan atau membenci sosoknya.
Dengan begitu, ketika tiba waktunya menggunakan hak pilih, mereka dapat memberikan suaranya dengan bijaksana. Mereka memiliki cara pandang kritis, sehingga mampu menilai wakilnya dengan baik. Mereka bisa bersikap sportif jika kalah. Serta dapat mengawal pemenangnya untuk mewujudkan janji kampanye. Bukan terjebak pada isu-isu rivalitas antarpolitisi semata.
Sebab dalam iklim demokrasi, one man one vote bukan sebatas angka-angka suara yang harus dipelihara saja. Namun masing-masing individu adalah rakyat yang berhak menuntut segala janji politik dari sosok yang didukungnya.
16 tahun lagi, anak saya dan teman-temannya bisa menjadi pemilih cerdas, jika sejak dini dipupuk bekal pengetahuan politik dari orang tua dan lingkungan tempatnya tumbuh. *
*Dianti Kurnianingrum, PR person based in Jakarta, Indonesia