PASTI akan banyak yang menyanggah. Dan menyatakan tidak mungkin terjadi. Jika pemilhan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Magetan hanya akan diikuti satu pasangan calon alias calon tunggal.
Alasannya, pertama, di Magetan terdapat delapan partai yang lolos parlemen. Dari delapan tersebut, tak ada satupun partai yang bisa memberangkatkan pasangan calon sendiri. Jika dihitung kalkulatif matematika, maka pilkada Magetan bisa diikuti setidaknya tiga atau empat pasangan calon.
Alasan kedua, dinamika politik terkini di Magetan telah terbentuk dua koalisi besar partai pengusung paslon. Pertama, koalisi yang dimotori Partai Golkar dan Nasdem. Kedua, koalisi yang dimotori PDIP, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN. Kekuatan dua poros tersebut sama-sama kuat dan bisa memberangkatkan sendiri.
Selan itu, ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang memiliki delapan kursi tapi belum menentukan sikap koalisi meskipun telah mengumumkan calon bupati yang akan diusung. Juga terdapat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki satu kursi dan belum menentukan arah koalisi.
Melihat dinamika tersebut, banyak pendapat yang yakin bahwa pilkada nanti setidaknya akan diikuti dua pasangan calon. Yakni paslon yang diusung oleh dua partai koalisi yang saat ini sudah terbentuk. Bahkan, jika PKB dan PPP membentuk poros koalisi sendiri, maka bisa diikuti tiga paslon.
Koalisi Mengikuti Paslon Atau Paslon Mengikuti Koalisi?
Asumsi yang menyatakan bahwa pilkada diikuti dua atau tiga paslon tersebut akan menemukan pembenaran jika paslon bupati dan wakil bupati ditentukan oleh koalisi partai. Artinya, paslon lahir dan dimunculkan oleh koalisi partai.
Siapapun orangnya, apapun latar belakangnya, bagaimana kapasitasnya, tidak penting. Yang penting koalisi memiliki calon sendiri. Hal itu terjadi, jika koalisi partai itu didasarkan pada kesamaan ideologi. Dan pemilihan kepala daerah itu merupakan pertarungan ide antar partai politik. Partai yang berbasis Islam, tidak akan mau berkoalisi dan mengusung calon yang memiliki ideologi non Islam.
Dan sebaliknya, partai berideologi nasionalis tidak akan berkoalisi dan mengusung pasangan yang tidak berideologi nasionalis. Pertanyaanya, apakah di Magetan seperti itu?
Jika melihat dinamika yang terjadi saat ini, koalisi partai di Magetan lebih didasarkan pada kesamaan kepentingan. Selama memiliki kepentingan yang sama, ya tidak masalah berkoalisi. Tapi jika kepentingan sudah berbeda, ya tidak masalah berpisah meski sudah membubuhkan tanda tangan koalisi.
Lantas apa kepentingan yang bisa menyatukan partai dan koalisi partai? Kemenangan. Ya, kemenangan dalam pilkada yang sesungguhnya ataupun kemenangan karena terpenuhinya kepentingan sesaat partai tersebut.
Dan kemenangan itu lebih cenderung ditentukan oleh siapa kandidat atau paslon yang akan diusung. Sehingga, koalisi partai yang saat ini sudah terbentuk masih memungkinkan terjadi bongkar pasang yang disebabkan figur paslon yang diusung. Artinya, koalisi cenderung mengikuti paslon.
Bagaimana Calon Tunggal Terbentuk? Dua koalisi yang saat ini terbentuk, sama-sama belum menetapkan pasangan calon. Artinya, koalisi tersebut masih mentah dan rawan terjadi bongkar pasang dalam saat memutuskan siapa yang diusung sebagai paslon bupati dan wakil bupati. Sementara, hingga saat ini atau sekitar tiga bulan jelang pendaftaran paslon, masih sangat minim sekali calon yang benar-benar siap bertarung dalam pilkada.
Dalam situasi minimnya kandidat yang benar-benar siap bertarung itu, bisa saja tejadi fragmentasi yang luar biasa. Dimana, dua koalisi besar yang ada saat ini ada bertemu pada kepentingan yang sama. Sama-sama merasa menang dalam pilkada. Sehingga terwujud satu pasangan calon hasil kolaborasi dua koalisi tersebut. Sehingga pilkada hanya diikuti calon tunggal. Karena, pintu adanya paslon perseorangan sudah tertutup rapat.
Dan rumus dalam politik, tidak ada yang tidak mungkin selama masih bisa dinegosiasikan. Dan negosiasi terbaik seorang politisi adalah tidak adanya pihak yang merasa dikalahkan. Wallahu alam bishowab. *
*Ditulis oleh: Didik Haryono, mantan Kepala Desa Soco yang juga mahasiswa Magister Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya