Magetan – Suara Choirul Ihwan, mendadak agak parau. Dia menahan kesedihan yang teramat dalam.
Ini terjadi ketika mantan Napiter yang divonis penjara 5 tahun itu bercerita titik balik perjalanan hidupnya. Kisah ini diceritakan pada acara sosialisasi yang diselenggarakan Bakespol Magetan, tentang Bahaya Radikalisme dan Terorisme, di Gedung Korpri, Rabu (14/12/2022).
“Saat itu, saya membentuk kelompok pelatihan militer di Sulawesi, di bagian timur Indonesia, sedang kelompok Santoso membentuk di wilayah barat. Tahun 2011. Suatu malam, saya bermimpi ibu saya,” ungkapnya.
Esoknya, Choirul menelpon kakak. Suara di seberang itu mengatakan, ibunya meninggal dunia beberapa jam sebelum Choirul telpon.
“Itulah guncangan pertama saya. Ibu seperti mengingatkan saya,” katanya.
Choirul terdiam sebentar. Ada beban berat yang dia tahan.
“Kasih sayang itu ternyata tak bisa dikalahkan oleh doktrin apapun. Padahal, 3 tahun sebelumnya saya kafirkan ibu, bapak, dan semua keluarga saya,” tambahnya.
Peristiwa itu membuat Choirul perlahan sadar. Dia mulai merasa yang dilakukannya selama ini, keliru. Dia mulai membuka diri dengan belajar dari ulama-ulama moderat.
Setahun kemudian, tahun 2012. Dia berada di Jakarta. Dia mulai menolak permintaan kelompok ekstrem untuk merakit senjata api. Sebelum itu, Choirul merupakan perakit senjata api untuk aksi-aksi teroris.
Kelompok Choirul bertanggung jawab atas Bom Cirebon 2010. Dia ditangkap 2013, di Bekasi dan mendapat hukuman penjara 5 tahun. Sebelum bebas pada 2017, Choirul menjalani hukuman di Lapas Porong, Sidoarjo. Satu lapas dengan buronan teroris dunia, Umar Patek.
“Di Lapas Porong itu, saya mendengar cerita dari korban Bom Marriot. Korban luka bakar yang nyaris meninggal. Setiap beliau cerita, dia menahan pedih dan trauma atas kejadian bom itu. Saya merasa bahwa saya sangat rendah disbanding kebesaran hati beliau yang menahan trauma dan memaafkan pelaku,” ceritanya.
Itulah “guncangan” kedua Choirul, hingga memutuskan untuk ‘sembuh”. Choirul berubah menjadi aktivis perdamaian. Dia ikut program deradikalisasi.
“Kita harus menjadi agen perdamaian. Mari kita belajar dari negara Timur Tengah yang hancur karena tidak ada perdamaian. Kehilangan segalanya karena situasi tidak damai,” ajaknya.
Choirul mengaku terpapar terorisme secara halus, perlahan. Lebih dari satu dekade. Menurut anak bungsu dari 5 bersaudara itu, dia terpapar karena merasa tidak diperhatikan di keluarga. Sehingga, lebih banyak bermain dengan teman.
“Teman-teman saya itu, yang mengjaak diskusi politik, agama. Menjadi tempat curhat ketika ada masalah. Karena kesibukan kedua orang tua saya,” kenang pria kelahiran Caruban, 1981 itu.
Dari pertemanan itu, Choirul belajar ajaran yang berbeda dari sebelumnya didapat tentang agama. 1998, dia bergabung dengan partai agama untuk berpolitik praktis. 2000, bergabung dengan HTI. Pindah ke MMI, 2001. Dan, puncaknya menjadi Jamah Taliban Melayu (2008), setahun kemudian mengkafirkan keluarganya.
Karena terpaparnya “halus”, Choirul mengaku proses deradikalisasinya juga butuh proses yang kurang lebih sama, satu dekadean.
“Selalu berpikir positif tentang keluarga dan jangan pernah meragukan kasih sayang mereka. Saya sudah membuktikkan, kalua tidak karena mimpi Ibu, mungkin saya tak seperti sekarang.”
Choirul juga berpesan berhati-hati dengan pertemanan di media sosial. Katanya, jangan melawan ketidakadilan dengan ketidakadilan.
Dan, dengan suara yang tidak lagi parau, Choirul mengajak untuk menjadi agen perdamaian. (far/mk)