Magetan – Sosoknya cantik. Secantik prinsip hidupnya. Itulah Rina Sulistiyorini, guru “istimewa” bagi anak berkebutuhan khusus (ABK). Rina mengajar di SLB Peadagogia di Jl. Taman Bakti, Kelurahan Kraton, Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Bagi Rina berada di tengah ABK atau anak inklusi, sejak tahun 2012 itu adalah sebuah pengabdian. Ini prinsip hidupnya. Sebab, anak didiknya tersebut memiliki keterbatasan. Dan, semua ini anugerah Tuhan yang tiada terkira
“Kalau anak rewel, ramainya minta ampun. Saya harus ekstra sabar menghadapi kondisi demikian. Harus memahami karakter si anak dan tahu bagaimana cara meredakan badmood-nya,” ucap Rina, lulusan S1 Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Malang, Jumat (25/11/2022).
Ia juga menyadari bahwa dirinya adalah guru istimewa yang juga memiliki keterbatasan pula. Bicaranya memang tidak begitu lancar. Ia bukan disabilitas dari lahir. Tapi, pendengarannya berkurang lantaran insiden kecelakaan. Sehingga, lawan bicaranya harus seksama mencermati ketika ngobrol bareng Rina.
Akan tetapi, bagi Rina mengasuh anak inklusi selama bertahun-tahun dijalani dengan segenap jiwa raga, dengan hati, serta penuh keikhlasan. Bersama mereka, ia seperti memperoleh obat yang mujarab tatkala ditimpuk kegundahan.
“Kita harus bisa menyelami karakter, kebiasaan dan kemauan si anak. Kalau sudah rewel, sudah crowded, mengembalikan mood mereka itu sulit. Tapi, ada trik dan tips khusus,” ungkap Rina yang kini tinggal di Jl. Kelud no. 579 Kelurahan Maospati itu.
Rina mengatakan, sebagai guru istimewa di tengah anak inklusi, dirinya harus mampu menyesuaikan materi keilmuan pendidikan luar biasa dengan perkembangan peserta didik. Ilmu itu didapat di bangku kuliah di Malang.
“Saya juga harus menguasai cara dan gaya belajar anak-anak. Bersikap dan berperilaku yang mengedepankan empati terhadap mereka,” aku Rina sembari membuat modul pembelajaran.
Tidak hanya itu, Rina juga harus mampu menjaga kesehatan dan keselamatan anak didiknya selama sekolah. Selain itu, dirinya dituntut bisa mengidentifikasi karakteristik potensi mereka dengan beragam kekhususan.
Termasuk, memiliki komitmen terhadap hak dan kewajiban ABK. Serta, mengenal teknologi juga memanfaatkan kondisi lingkungan di keluarga, sekolah dan masyarakat pada mereka.
Menurut Rina, profesi guru di lembaga swasta seperti SLB Peadagogia adalah pilihan dan jalan hidupnya. “Dalam pikiran saya, anak-anak ini harus mendapat hak yang sama di bidang pendidikan. Sama seperti anak yang normal,” tutur yang lulusan D3 AKK AKS Yogyakarta tersebut.
Ditanya pengalamannya mengasuh anak inklusi, Rina terdiam sejenak. Bibirnya bergetar. Ia menunduk. Menurut dia, semua dilakoni dengan suka cita. Perempuan berbintang Cancer ini, mencontohkan ketika mood anak sedang membaik, dirinya mendapatkan perlakuan yang manis.
Dia rasakan, perilaku tersebut tidak pernah ditemukan pada anak lain. Di luar dari anak berkebutuhan khusus. “Senyum dan perhatian mereka itu tulus. Ini yang membuat saya terharu,” tutur Rina.
Kisah Rina yang istimewa tersebut bermula dari tahun 1986 silam. Ketika itu, ia terjatuh dari di bonceng kendaraan. Motor dikemudikan ibunya, Ny. Sri Hartini. Oleh bapaknya, Mulyono Purwowidagdo, ia kemudian dibawa ke rumah sakit terdekat.
Dari observasi medis, Rina yang acap pusing tersebut didiagnosa menderita gangguan kecil pada otak dan telinga, pasca kecelakaan. Tak lama setelah itu, Rina dibawa keluarganya berobat ke RSUD dt Soedono Madiun lantaran pendengarannya ada masalah.
Lalu diobati. Sembuh. Oleh dokter, ia disarankan menggunakan alat bantu dengar. “Jadi, saya bukan tuna rungu sejak lahir. Tapi, saya ada gangguan di telinga karena kecelakaan,” terang Rina menerawang masa lalunya.
Hingga akhirnya, Rina memperoleh bantuan alat bantu dengar Starkey Behind the Ear dari dokter di luar negeri pada tahun 2017 lalu. Itu dikenakannya sampai sekarang.
Meski dibalut kekurangan, Rina tetap bersyukur. Ia tetap menjadi sosok istimewa. Guru sekaligus ibu bagi anak-anak di SLB Peadagogia Kraton, Kecamatan Maospati. Penuh kesabaran. Naluri seorang ibu membuatnya tergerak untuk membimbing sang bocah inklusi.
Rina mengaku mencintai profesinya. Meski dirinya tidak tahu kapan lolos sebagai guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Karena, baginya mengajari anak-anak dengan berkebutuhan khusus itu, telah mendarah daging. Hati kecilnya berkata agar ia tidak mematikan nyala lilin-lilin kecil mereka. Menjadi penerang.
“Siapa sih yang tidak ingin lolos sebagai guru PPPK. Sebab, kesempatan itu memang ada. Tapi, berada di tengah anak-anak inklusi ini, membuat saya merasakan kebahagiaan,” jelas Rina yang akan terus mencoba mendaftar PPPK.
Rina sejak lama memantapkan diri mengasuh anak-anak inklusi. Baginya, dunia mereka penuh warna. Bersama mereka, Rina belajar banyak tentang makna kehidupan. Yaitu, keikhlasan. Dengan segala cerita haru biru. Tawa dan canda.
Dia meneladani petuah Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantoro. Di mana esensi pendidikan adalah olah karsa, olah rasa dan olah raga. Rina bersyukur dengan pencapaiannya saat ini.
Ia berterima kasih pada semua yang telah membantu agar tetap bersemangat membimbing anak inklusi. “Jangan pernah berharap balasan apapun dari mereka. Bahkan sekadar ucapan terima kasih,” tutur Rina sambil menggenggam kedua telapak tangannya.
Ini Hari Guru. Jumat, 25 November 2022. Rina memiliki harapan khusus. Anak-anak yang dididiknya, yang didampingi sedari kecil itu, kelak bisa menjadi orang mandiri dengan segala keterbatasan yang dimiliki.
“Harapan saya sederhana, saya ingin terus berada di antara mereka. Melihat mereka tumbuh seperti yang lain. Saya ingin menjadi lilin bagi mereka agar bisa mandiri,” ucap Rina tulus. (mif/mk)