Sabtu, 15 Februari 2025

Guru dan Politik

Hari pemungutan suara Pemilu Serentak Tahun 2024 untuk memilih Capres dan Cawapres, Calon Anggota DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota semakin dekat. Di tengah-tengah tahapan kampanye yang berlangsung saat ini, ada fenomena menarik untuk di cermati dan di analisis, yaitu hampir dipastikan bahwa semua kandidat Capres dan Cawapres menawarkan janji-janji “manis” kampanye untuk kaum guru.

Hal ini bisa dipahami karena guru menjadi salah satu ceruk menggiurkan untuk mendulang suara pada Pemilu Serentak Tahun 2024. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), jumlah guru di Indonesia mencapai, 3,36 juta orang pada semeseter ganjil tahun ajaran (TA) 2023/2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas guru mengajar di tingkat Sekolah Dasar (SD), yaitu sebanyak 1,47 juta orang atau menyumbang 43,89% dari keseluruhan guru di tanah air.

Terbanyak kedua guru yang mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu mencapai 673,3 ribu orang, jumlahnya berkontribusi sekitar 20% dari jumlah pengajar. Berikutnya, ada guru yang mengajar untuk Sekolah Menengah Akhir (SMA) sebanyak 339,3 ribu orang dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 324,6 ribu orang. Keduanya menyumbang sekitar 10%-an dari total guru di Indonesia. Sementara untuk guru yang mengajar di tingkat pendidikan yang lebih rendah, seperti Taman Kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain (KB), serta Satuan PAUD Sejenis (SPS) memiliki jumlah yang lebih sedikit. Jumlah ini dipastikan akan semakin bertambah, seiring dengan pengangkatan guru dari unsur Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Janji-Janji “Manis” Kampanye

Pasangan Capres-Cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, berjanji akan menaikkan status guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Surat Perjanjian Kerja (PPPK) dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Kenaikan status guru honorer dengan SPTJM menjadi PPPK, melalui proses yang adil dan transparan. Dalam agenda khusus yang dibuat oleh Pasangan AMIN, mereka berjanji juga akan meningkatkan kesejahteraan guru di sekolah negeri. Selanjutnya akan fokus pada kesejahteraan untuk pengajar PAUD. Pasangan Nomor Urut 1 ini juga berjanji bahwa gaji guru harus diterima tepat waktu, tidak terlambat lagi. Berikutnya, akan fokus pada insentif penambahan gaji guru swasta melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pengurangan beban administrasi menjadi maksimal 10% persen dari jam kerja. Lalu, memberikan beasiswa guru dan anak guru melalui Program Dana Abadi Guru.

Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjanji bakal menambah gaji guru hingga Rp 2 juta per bulan selama 13 bulan, setiap tahun, termasuk THR, diberikan kepada guru-guru, termasuk guru honorer di seluruh Indonesia. Sedangkan pasangan Capres-Cawapres Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berjanji akan meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen melalui penyempurnaan sertifikasi guru dan dosen secara lebih sederhana. Bahkan, pasangan nomor urut 3 ini berencana menetapkan gaji guru Rp 20 juta per bulan.

Realita

Sepintas lalu, semua janji yang disampaikan ketiga pasangan Capres-Cawapres terasa indah. Namun, apakah janji yang disampaikan tersebut akan benar-benar bisa direalisasikan? Fakta di lapangan, bahwa persoalan guru ternyata tidak hanya sekedar persoalan kesejahteraan semata. Guru saat ini dihadapkan pada persoalan tuntutan pemenuhan kebutuhan administrasi yang terkadang mengalahkan kewajiban utama, mengajar. Kegiatan upload berkas administrasi justru kian mendominasi. Dan fenomena ini yang selama beberapa waktu terakhir ini mengemuka.

Problematika bagi guru khususnya yang berstatus ASN di masing-masing daerah, baik di level Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga berbeda. Selanjutnya, persoalan kompetensi yang sangat beragam di kalangan guru dan pola rekrutmen guru serta distribusi guru yang masih amburadul. Di tambah lagi, perlindungan guru yang minim dan buruknya pengembangan karier guru menghantui kehidupan patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia ini. Sehingga tidak bisa serta merta persoalan guru di “gebyah uyah” sama, hanya pada persoalan kesejahteraan semata.

Seharusnya, semua kandidat lebih peka pada persoalan dan problematika guru dari segala lini, tidak hanya sekadar mengambil sisi kesejahteraan belaka. Isu kesejahteraan guru memang menjadi isu yang “sexy” dan menarik untuk dikampanyekan, agar bisa membawa magnet kekuatan kaum guru memilih kandidat pasangan yang ada. Namun, justru apa yang disampaikan semua kandidat dikhawatirkan akan menjadi janji-janji “surga” yang dijejalkan ke pendidik, tetapi akhirnya hilang bak di telan bumi.

Suara guru yang awalnya bak emas ketika sebelum coblosan, akan berubah menjadi “sampah” ketika kemenangan sudah didapatkan. Guru harus kembali ke habitatnya sebagai pendidik dengan segala problematikanya. Dan siklus ini akan terus berulang setiap lima tahunan. Guru sebagai kelompok yang terdidik dan terintelektual, seharusnya bisa menyadari akan fenomena ini. Guru harus memiliki ‘sense of politic’ dan lebih kritis dalam melihat visi-misi pasangan capres-cawapres

Makhluk Politik

Terlepas dari segala janji politik dari ketiga pasangan capres-cawapres, posisi guru sebagai pendidik tidak akan pernah lepas dari urusan politik. Mengapa demikian? Karena esensinya manusia itu adalah makhluk politik. Manusia disebut sebagai makhluk politik tentunya karena manusia dan politik itu hal yang tak bisa dipisahkan. Politik itu sendiri ada di kehidupan sekitar kita tidak hanya di dalam pemerintahan saja, misalnya dalam keluarga, anggota keluarga itu mempunyai peran dan tugasnya masing-masing. Ketika ada permasalahan di dalam keluarga, itu harus diselesaikan melalui musyawarah supaya terciptanya mufakat, itu merupakan bagian dari politik. Sehingga, manusia sebagai makhluk politik dan warga negara, baik sebagai pribadi maupun kelompok/sosial harus menunjukkan peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, guru sebagai bagian dari warga bangsa memiliki hak yang sama untuk menyuarakan aspirasinya. Guru adalah warga politik, guru juga memiliki hak politik yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28. Dalam konteks penguatan demokrasi, guru juga memiliki andil yang signifikan ketika menjadi corong untuk memberikan pendidikan politik kepada generasi muda. Selain itu, guru dipandang sebagai salah satu tokoh yang memiliki pengaruh untuk menentukan perilaku masyarakat. Hal inilah  yang kemudian guru “dimanfaatkan” untuk menggerakkan masyarakat dalam setiap perhelatan pemilu.

Selain itu kaum guru di Indonesia juga memiliki organisasi profesi seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII). Diharapkan melalui berbagai macam organisasi profesi guru inilah, maka bisa tumbuh menjadi kekuatan daya tawar dan kelompok penekan serta kelompok kepentingan untuk memajukan pendidikan di tanah air.

Intinya, guru memang tidak boleh berpolitik praktis dan tidak boleh aktif berkampanye, tetapi guru jangan menjadi makhluk yang abai terhadap politik, yang acuh tak acuh dan tidak peduli dengan politik. Sebagai kaum terdidik dan terintelektual, guru diharapkan bisa menjadi garda terdepan dalam meningkatkan kesadaran politik masyarakat. Penulis menjadi ingat kata bijak dari seorang Filsuf tanah air Frans Magnis Suseno, yang mengatakan bahwa “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Selamat mencoblos!… Hidup Guru!…Hidup Demokrasi!

*Muries Subiyantoro, Guru BK SMPN 1 Magetan, Pegiat Demokrasi, dan Penggagas LoGoPoRI (Local Government and Political Research Institute) Magetan.

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories