Saya ingat betul, tanggal 18 Maret 2021, tiba-tiba saya dapat pesan WhatsApp dari sekretaris eksekutif Yayasan Arsari milik Pak Hashim Djojohadikusumo. Yang isinya, bila saya ada kesempatan ke Jakarta akan diketemukan dengan beliau. Seorang pengusaha ternama adik Menhankam Prabowo dan Capres Pemilu 2024 putra dari Begawan Ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo. Jawaban tentu bisa ditebak. Saya langsung membalas. Tentu sebuah kehormatan bagi saya bisa diterima dan bersilaturahim dengan beliau.
Selidik punya selidik, mengapa sampai beliau memberi waktu kepada saya untuk bertemu. Sekali lagi karena saya rajin menulis rutin di berbagai media maupun menulis buku. Betul, menulis memberi ruang dan kesempatan kepada siapapun untuk dikenal. Dan Prof Peter Carey yang demikian produktif menulis, yang menyampaikan dan mengenalkan kepada Pak Hashim tentang saya.
Siapa yang tidak kenal Prof Peter Carey. Sejak tahun 2014 diangkat sebagai adjunct (visiting) Professor di Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI) atas sponsor Yayasan Arsari. Sebelumnya merupakan Fellow Emeritus di Trinity College, Oxford, Inggris. Sebagai sejarawan senior, beliau sangat dikenal di Indonesia sebagai peneliti Pangeran Diponegoro. Salah satu buku maha karya yang merupakan disertasinya di Universitas Oxford-Inggris terdiri dari tiga jilid, tentang Diponegoro berjudul “Kuasa Ramalan,” Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785—1855.
Kedekatan Prof Peter Carey dengan Yayasan Arsari yang dipimpin Pak Hashim Djojohadikusumo, terjalin sejak lama ketika Yayasan ini mensponsori kehadiran Prof Peter Cerey di Indonesia yang kemudian mempertemukan kami dengan Pak Hashim Djojohadikusomo. Tanggal 28 Mei 2021 saya diterima beliau di kantor Yayasan Arsari Jalan Sudirman Jakarta. Sebuah pertemuan yang sangat berkesan bagi saya. Tentu buku yang kemudian menjadi topik utama bahasan dalam pertemuan tersebut.
Dan tak lupa, kami dihadiahi buku otobiografi Margono Djojohadikusumo yang merupakan kakek Pak Hashim yang berjudul “Kenang-kenangan dari Tiga Zaman.” Dan juga buku biografi Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan ayah dari Pak Hashim Djojohadikusumo yang berjudul “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.” Juga buku-buku yang diterbitkan yayasan Arsari tentang Majapahit. Saya sendiri kemudian tak lupa membawa buku-buku karya saya untuk beliau, diantarnya Menjahit Mimpi Rakyat dua jilid, Email Saka Jakarta tiga jilid, dan Government Public Relations.
Dalam silaturahim ini, kami tidak hanya memperbicangkan tentang buku. Juga kemudian melebar tentang keluarga, politik, pemerintahan daerah dan banyak hal. Sampai-sampai beliau harus sering diingatkan oleh sekretaris bahwa telah ditunggu agenda lainnya. Sungguh banyak hal yang saya dapatkan.
Dan sesuai janji beliau suatu saat akan ke Magetan. Dan janji itu ditepati. Pada tanggal 25 Agustus 2023 hadir dalam peluncuran buku “Banteng Terakhir Kasultanan Yogyakarta” salah satu buku diantara buku Trilogi Madiun Raya. Selesai acara peluncuran buku sekaligus memberikan sambutan, Pak Hasyim mengunjungi beberapa situs sejarah di Magetan.
Membaca buku-buku yang terkait dengan kakek dan ayah beliau, sungguh sangat menarik. Dua buku hadiah beliau yang cukup tebal tersebut saya baca dalam empat hari di sela-sela tugas sampai selesai. Banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari membaca obiografi tersebut. dan dari dua buku itu, akan saya jadikan sumber dalam penilisan topik ini kali ini.
Prabowo memiliki leluhur yang terdidik pada jamannya. Canggah (garis keturunan keempat) beliau Raden Tumenggung Kartanegara atau lebih dikenal Banyak Wide adalah salah satu panglima perang Diponegoro. Setelah Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, Banyak Wide kemudian dibuang ke Ternate. Setelah suasana lebih damai, Banyak Wide dibebaskan. Bahkan kemudian diangkat sebagai Bupati Karang Anyar di daerah Kedu Selatan.
Banyak Wide kemudian menikahkan putranya dengan putri bupati Roma di Kedu Selatan (kedua kadipaten ini kelak dihapus). Putra Banyak Wide akhirnya menjadi menjadi ambtenaar dengan jabatan jaksa pribumi. Dari perkawinan tersebut lahir salah satunya Margono Djojohadikusumo, kakek dari Prabowo yang kemudian disekolahkan pada pendidikan Belanda.
Sewaktu Margono sekolah dasar Belanda, jiwa nasionalnya mulai muncul karena merasa sangat mendapat diskriminasi. Seringkali kata-kata “vuile en vieze inlander” (pribumi jorok!!!) terdengar setiap hari. Malahan setiap hari sebelum masuk ruang sekolah, khusus anak-anak pribumi diminta mencuci tangan dan telinga. Disitulah bagaimana perjuangan Margono menempuh pendidikan ketika belajar di sekolah dasar elite Europeesche Lagere School (ELS) Banyumas antara 1900-1907. Sekolah yang hanya boleh diikuti oleh elit Jawa.
Lulus dari ELS, Margono kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah calon pamong praja Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Magelang. Sebelum masuk di OSVIA harus lulus ujian klein ambtenaar semacam ujian untuk menjadi pegawai Yunior. Pendidikan di OSVIA diselesaikan pada tahun 1911.
Lulus dari OSVIA Margono ditempatkan sebagai pembantu juru tulis di Banyumas. Tugasnya sering berpindah. Dan pada akhirnya setelah bekerja sekitar dua tahun mengikuti pelatihan menjadi pejabat Volkscredietwezen di Purworejo. Tugasnya di kantor perkreditan rakyat, adalah membantu ekonomi masyarakat pribumi.
Sempat keputusan yang mau diambil berada dalam dipersimpangan jalan ketika ditugaskan sebagai inspektur di De Algemene Volkscrediet Bank (AVB) alias bank perkreditan rakyat yang dirintis pemerintah kolonial. Jauh dari cita-citanya sebagai alumni OSVIA untuk menjadi pamong praja. Namun justru dari sinilah keputusan itu memberikan hikmah bagi Margono. Setelah Indonesia merdeka Margono bisa berkarier dan berkecimpung secara luas di pemerintahan, salah satunya dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia.
Setalah merasa cukup, dalam usia 21 tahun, Margono menikah dengan Siti Katoemi dan dikarunai tiga orang anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak pertama Sumitro Djojohadikusumo, kemudian disusul Miniati Djojohadikusumo, Sukartini Djojohadikusumo, Subianto dan Sujono. Sebagai anak dari orang tua terdidik dalam jamannya, Sumitro mendapat pendidikan yang baik.
Setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS) tahun 1935, Sumitro dianjurkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke Recht Hoge Scholl (RHS) atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Karena, kalau kuliah ke Belanda tentu orang tuanya tidak akan mampu. Namun Sumitro menolak. Sumitro kukuh, ingin melanjutkan kuliah di Belanda. Pada akhir Mei 1935 Sumitro dengan naik kapal berlayar menuju Roterdam Belanda untuk kuliah ekonomi.
Lulus sebagai sarjana muda (selama kuliah sambil bekerja sampingan), ditempuh kurang dari tiga tahun. Kemudian, mengembara di Perancis selama satu setengah tahun. Di Perancis bertemu tokoh-tokoh sosialis, yang sangat mempengaruhi pemikiran Sumitro kelak. Kembali ke Roterdam, untuk menyelesaikan sarjananya. Dan pada waktu di sela-sela Perang Dunia II, Sumitro bisa menyelesaikan pendidkan doktornya.
Beruntung, ibu Sumitro waktu itu ngotot agar menabung melalui asuransi untuk sedikit membantu pembiayaan pendidikan anak-anaknya. Dan dengan penuh perjuangan Sumitro akhirnya bisa menyelesaikan kuliah program doktor di Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) Rotterdam tanggal 11 Maret 1943. Sekolah tempat Hatta menyelesaikan sarjananya. Yang juga luar biasa, Sumitro waktu menyelesaikan pendidikan doktornya usianya baru 25 tahun!!!
Kondisi peperangan, tentu menyulitkan Sumitro untuk kembali pulang. Akhirnya Sumitro menerima tawaran untuk bekerja di lembaga penelitian almamaternya. Proklamasi kemerdekaan baru didengar Sumitro tanggal 18 Agustus 1945 melalui radio Hilversum ketika sedang berbaring di rumah sakit, karena sakit yang dideritanya.
Tahun 1946, Sumitro kembali ke Indonesia. Sesampainya di tanah air, Sumitro diberitahu akan kematian kedua adiknya yang gugur dalam pertempuran di Tangerang membela kemerdekaan. Betapa sedih Sumitro mengetahui kenyataan pahit itu. Oleh sebab itu, kematian kedua adiknya untuk kemerdekaan semakin membulatkan tekadnya untuk mengabdi kepada Negara Republik Indonesia yang baru merdeka.
Apalagi Margono sebagai orang tua, kehilangan dua anaknya gugur sebagai Kusuma Bangsa, membuat Margono juga sangat terpukul. Namun selanjutnya Margono tidak mau berlarut dalam kesedihan. Pengabdiannya terus berlanjut. Dan juga terus selalu terlibat dalam pemerintahan era Sukarno. Bahkan dalam pemerintahan Sukarno Margono pernah menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung yang pertama setelah proklamasi.
Seperti bapaknya, sebagai seorang doktor ekonomi, kemudian Sumitro juga langsung terlibat dalam pemerintahan. Keterlibatan Sumitro langsung dalam pemerintahan, berkat kedekatannya dengan Sutan Sjahrir. Bahkan Sumitro pernah diangkat menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Dan selanjutnya menjadi Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Selain di birokrasi sebagai pejabat politik, Sumitro juga aktif di dunia pendidikan. Sumitro menjadi dekan kedua FE-UI periode 1951-1957. Pada masa ini, banyak dikirim dosen muda FE-UI ke Amerika Serikat untuk meningkatkan ilmunya. Kiprah Sumitro di jabatan politik maupun pendidikan sangat besar. Namun pada akhirnya, sikap Sumitro berseberangan dengan Sukarno.
Persoalan dengan Sukarno memuncak dimulai tahun 1957, ketika Sumitro diserang oleh kelompok komunis. Setiap hari berita yang memojokkan Sumitro menghiasi media harian komunis. Salah satu tuntutannya, agar Sumitro dibawa ke pengadilan karena tuduhan korupsi yang dilakukannya.
Beberapa kali diperiksa, namun tidak ada bukti. Suatu hari Sumitro mendengar informasi akan ditangkap dan dipenjarakan oleh Sukarno. Oleh sebab itu bulan Mei 1957, Sumitro kemudian menyingkir ke Sumatera. Dan sebagai tokoh PSI yang anti komunis, kemudian bergabung dengan PRRI untuk memperjuangkan keadilan serta untuk kemajuan daerah.
Ketika Sumitro berbeda pendapat dengan para tokoh PSI lainnya, kemudian Sumitro melanjutkan perjuangan ke luar negeri. Salah satu sebabnya, karena tidak setuju dengan penyataan Sukarno, bahwa para pemberontak akan diampuni asal membuat pernyataan,”Mengakui Sukarno sebagai Pemimpin Besar.” Justru pernyataan itu yang sangat tidak disukai Sumitro.
Selama dalam pengasingan, Sumitro dan keluarganya tinggal dan mulai berbisnis. Pernah tinggal di Singapura, Hongkong, Malaysia, Swiss, London, terus ke Bangkok. Namun Sumitro berkeyakinan, suatu saat akan kembali ke tanah air. Dan momentum itu tiba ketika Sukarno tumbang, digantikan oleh Suharto.
Sebagai orang kepercayaan Suharto, Ali Murtopo ketika itu menghubungi Sumitro untuk bersedia kembali ke tanah air. Membantu ekonomi yang parah dan ambruk. Setelah Suharto secara sah menjadi presiden, dan membantuk kabinet tahun 1968 Sumitro diminta masuk dalam jajaran kabinet.
Pada awalnya, Sumitro sebenarnya akan diplot menjadi Menteri Keuangan. Namun, jabatan Menteri Perdagangan tidak ada orang yang mau, karena merasa tidak sanggup, mengingat kondisi perdagangan waktu itu sangat semrawut. Pada akhirnya Sumitro yang diminta untuk menjadi Menteri Perdagangan.
Lamanya Sumitro di luar negeri, maka tak heran, bila anak-anak Sumitro banyak dibesarkan dan sekolah di luar negeri, karena perbedaan politik dengan Sukarno yang memaksa untuk menyingkir. Hasil perkawinannya dengan Dora Sigar tanggal 7 Januari 1947, gadis yang dikenalnya di Roterdam ketika Sumitro masih di Belanda dikarunia empat anak, terdiri dua putri dan dua putra. Putri sulungnya Biantiningsih yang menikah dengan mantan Gubernur BI Sudradjat Djiwandono. Kemudian disusul Maryani Ekowati, Prabowo Subianto dan bungsu Hasyim Sujono.
Hubungan Sumitro-Suharto semakin dekat ketika putranya Prabowo Subianto yang berkarier di militer lulusan AMN tahun 1974 menikah dengan Titiek Suharto. Titiek merupakan salah satu putri Suharto. Namun hubungan dua besan itu tidak menyurutkan sifat Sumitro yang selalu berpikir dan bicara terbuka. Bahkan Sumitro tetap sering berkunjung ke teman-temannya yang notabene musuh Suharto seperti HR Dharsono. Dan sikap itulah salah satu yang memantik ketidaksenangan Suharto.
Rasa tidak senang Suharto biasanya disampaikan kepada anaknya Titiek, dengan maksud pesan itu disampaikan ke Sumitro. Namun ternyata pesan yang sudah disampaikan menantunya itu tidak bisa merubah sikap Sumitro. Puncaknya ketika Sumitro mengkritik Suharto bahwa dana pembangunan disinyalir setiap tahun bocor sekitar 30 persen.
Sebenarnya, masa tiga tahun menjelang Suharto lengser, merupakan saat yang kritis, yang ditandai dengan semakin sukarnya Suharto menerima kritik. Bila Sumitro kelewat keras mengkritik, maka seperti biasa sang anak menantu akan datang kepada Sumitro sembari menyampaikan pesan presiden (baca “Jejak Perlawanan Begawan Pejuang” hal 423).
Kita tahu, reformasi, membawa jatuh Presiden Suharto yang notabene mertuanya Prabowo. Jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenan, dipicu akibat resesi dan demontrasi yang demikian masif dipelopori para mahasiswa. Bahkan gedung DPR diduduki oleh mahasiswa. Penjarahan dan kekerasan terjadi di Jakarta serta beberapa kota besar di Indonesia. Belum korban perkosaan dan yang meinggal.
Jatuhnya Suharto diikuti dengan keretakan hubungan dengan keluarga besar Prabowo. Bahkan diikuti dengan berpisahnya Prabowo dengan Titiek Suharto tahun 1998. Perkawinan yang telah dibangun selama 15 tahun lamanya harus kandas. Bayangkan, sehari setelah Suharto menyatakan pengunduran diri, Prabowo diberhentikan dari Pangkostrad oleh Presiden Habibie.
Penyebab pemberhentian Prabowo dari Pangkostrad ada beberapa versi. Kalau dari versi Habibie (baca buku BJ Habibie dalam Detik-Detik yang Menentukan hal 98-104) dari laporan Wiranto sebagai Pangab, ada konsentrasi pasukan Konstrad di sekitar Istana dan Kuningan kediaman Habibie. Dan gerakan pasukan ini tanpa sepengetahuan Pangab.
Namun Prabowo menjelaskan kepada Presiden Habibie, bahwa pasukan Kostrad tersebut justru diperintahkan untuk melindungi Presiden Habibie. Alasan Prabowo tersebut bisa dimengerti, tapi sesuai prosedur kurang tepat karena pengerahan pasukan Kostrad tersebut tanpa sepengetahuan Pangab.
Setelah Prabowo menghadap Presiden Habibie, terjadi dialog itu dan pada akhirnya disampaikan bahwa Prabowo harus menyerahkan jabatan sebagai Pangkostrad,”Saya masih sempat memeluk Prabowo dan menyampaikan salam hormat saya untuk ayah kandung dan ayah mertua Prabowo. Kemudian, saya didampingi anak saya, Thareq, meninggalkan ruang tamu untuk menengok istri, anak, dan cucu.
Prabowo Subianto adalah putra tertua dari keluarga yang sangat terhormat, sebagai intelektual, dan sangat kritis. Bahkan, ayah kandungnya adalah salah satu idola saya sejak masih di SMA. Dedikasi Prabowo, begitu pula orang tua dan saudara-saudaranya terhadap bangsa dan negara, tidak perlu diragukan. Saya percaya bahwa iktikad dan niat Prabowo untuk melindungi saya adalah tulus, jujur, dan tepat.”
Pada akhirnya, Prabowo harus mengakhiri karier militer lebih cepat, berdasarkan rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira, Prabowo diusulkan untuk diberhentikan dengan hormat. Setelah tidak aktif lagi di dunia militer, Prabowo memenuhi saran teman ketika bersama mengikuti pendidikan militer di Amerika Serikat, Pangeran Abdullah dari Yordania untuk sementara tinggal dinegaranya.
Kepergian Prabowo ke Yordania tentu sebagai keputusan yang tepat, mengingat peristiwa 1998 seolah Prabowo yang paling bertanggungjawab. Bahkan dalam akun twitter-nya Prabowo bilang,” Mengasingkan diri ke Yordania lebih baik, karena berbagai macam tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kala itu jika ada kucing peliharaan yang hilang di ibukota – mungkin saya Prabowo Subianto yang dituduh mengambil. Lebih baik pergi sejenak.”
Awal tahun 2001, setelah kondisi politik semakin baik, Prabowo kembali ke tanah air. Fokus ke bisnis setelah tidak aktif di militer, menjadi kegiatannya. Kemudian aktif di Golkar. Namun ketika mengikuti konvesi calon presiden selalu kalah. Sampai kemudian tahun 2008, Prabowo tergerak untuk fokus terjun ke jabatan politik. Salah satu cara untuk bisa duduk dalam jabatan politik lebih mudah melalui sarana partai politik, dengan mendirikan Partai Gerindra.
Pada Pemilu 14 Pebruari 2024 Prabowo terpilih sebagai presiden, berpasangan dengan Gibran. Tentu kesempatan emas bagi Prabowo nantinya untuk membersihkan namananya juga keluarga besarnya serta membuktikan pengabdiannya pada negara yang kita cintai ini, sebagaimana juga cita-cita leluhurnya dengan segala dinamika yang menyertainya.
*Ditulis Suprawoto, Bupati Magetan (2018-2023)