Sabtu, 14 Desember 2024

Magetan Itu Istimewa

Yogyakarta itu istimewa siapa yang menyangkalnya. Bangsa ini sudah mengakuinya sejak lama. Tidak perlu ada yang menyangkalnya. Tapi kalau Magetan itu istimewa, lalu apa alasannya. Tentu kita sendiri yang harus menggalinya. Dan dimana kemudian letak istimewanya?

Tentu kalau ditilik dari politik pemerintahan, bukan istimewa seperti Yogyakarta. Tapi istimewa dalam perjalanan panjang sumbangsih Magetan dalam sejarah berdirinya negara yang kita cintai ini. Minimal ada dua peristiwa besar dalam sejarah negara kita yang tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Magetan.

Yang pertama adalah Perang Jawa. Sebuah peristiwa yang membuat bangkrut pemerintahan kolonial waktu itu. Yang kedua adalah pertempuran 10 November 1945 yang memberi makna besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berlangsung tahun 1825-1830 tidak bisa dilepaskan dari Magetan. Dan sebelum perang Jawa meletus, bibit kebencian itu sudah dimulai ketika Raden Ronggo Prawirodirdjo III bertahta. Raden Ronggo Prawirodirdjo III sendiri adalah menantu Sultan hamengkubuwono II yang menikah salah satu putri Sultan GBRAy Madu Retno.

Raden Ronggo Prawirodirjo III adalah Bupati Madiun yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Maospati (1796-1810) yang saat ini merupakan wilayah Magetan. Sebagai menantu Sri Sultan Hamengkubuwono II, beliau juga diangkat sebagai Bupati Wedana Mancanegara. Yang diberikan kekuasaan sebagai koordinator bupati sebelah Timur Gunung Lawu yang menjadi kekuasaan Kasultanan Jogyakarta. Kalau sekarang setingkat Gubernur. Selain jabatan sebagai Bupati Wedana Mancanegara, juga sebagai penasehat politik Sultan.

Tidak heran, kalau kemudian Ronggo Prawirodirjo III lebih banyak berkedudukan di Jogyakarta. Pada masa pemerintahannya, memindahkan pusat pemerintahan dari Wonosari sebelah Utara Madiun ke Maospati. Di Maospati kemudian tinggal bersama saudara-saudara Raden Ronggo sendiri, juga diikuti sentana dalem seperti Panji Nantangyudo, Panji Ukeng, Panji Leleyan, Panji Jekitut, Panji Suryoatmojo. Dengan pemindahan kadipaten, tentu menjadikan wilayah Maospati menjadi sangat ramai dan maju.

Kadipaten Maospati kemudian dibangun dikelilingi tembok batu merah. Bahkan kemudian dipasang Meriam. Sehingga menjadi pusat pemerintahan sekaligus sebagai benteng pertahanan. Raden Ronggo juga menciptakan iklim keagamaan di Maospati. Terbukti, pada masa pemerintahannya, didatangkan ulama dari Sunda Nuryemangi untuk memberikan pemahaman agama Islam bagi penduduk.

Yang membedakan dengan pangeran yang lain, Raden Ronggo sangat anti Belanda. Ketika Gubernur Jenderal Daendels akan membangun kekuatan militernya, utamanya membuat kapal perang, maka memerlukan kayu jati yang berkualitas tinggi. Dan kayu-kayu jati itu berada di wilayah kekuasaannya. Kemudian hutan-hutan jati sebagai sumber daya kraton ingin dikuasai Belanda.

Dari situlah timbul kebencian semakin memuncak kepada pemerintah Belanda. Sehingga Raden Ronggo dianggap musuh Belanda. Dan Raden Ronggo juga menjadi musuh karena intrik-intrik yang terjadi antara Raden Ronggo dengan Patih Danurejo II. Ditambah perselisihannya dengan Bupati sekitar yang menjadi wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Yang pada akhirnya Sri Sultan hamengkubuwono II harus merelakan tekanan Belanda, yang mengharuskan menantunya Raden Ronggo harus dihadapkan kepada Gubernur Jenderal di Bogor. Yang itu artinya Belanda meminta kematiannya.

Dari pada dibuang, atau diracun maka Raden Ronggo kemudian memberontak. Bupati Brang Wetan banyak yang memihak kepada Raden Ronggo. Bahkan kemudian Raden Ronggo kemudian menyatakan sebagai Sunan Ingalogo dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Ingalogo yang bertahta di kutha Pethik (yang diambil dari nama hutan di sekitar desa Sambirembe Kec. Karangrejo sekarang). Segera Raden Ronggo menyusun kekuatan di Maospati disokong para bupati pengikutnya.

Namun yang tragis justru, Sri Sultan sendiri yang memberi ulmatum agar Raden Ronggo segera ditangkap dan kemudian dibunuh. Dan pada akhirnya, Raden Ronggo tewas di Sekaran tepi Bengawan Solo pada tanggal 20 Nopember 1810 dalam peperangan yang sudah diskenario. Kemudian jenazahnya dibawa ke Jogyakarta. Dan diletakkan di keranda terbuka serta digantung di persimpangan jalan Pangurakan dekat gardu alun-alun Utara. Pada akhirnya jenazah dimakamkan di makam para pengkhianat kraton di Banyusumurup, Bantul Jogyakarta.

Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX makam Raden Ronggo diperintahkan untuk dipindahkan ke Gunung Bancak berdampingan dengan makam istri tercinta di Gunung Bancak. Pemindahan makam ini setelah makam Raden Ronggo ada di Banyusumurup selama 157 tahun.  

Yang lebih tragis, pada tahun 1809 sebelum menyatakan angkat senjata melawan Belanda, permaisuri yang dicintainya GBRAy Maduretno meninggal dunia karena kunduran (saat melahirkan). Dan sengaja jenazah istri tercinta dimakamkan di Gunung Bancak. Salah satu pertimbangannya, agar Raden Ronggo setiap saat bisa memandang makam istri tercintanya dari istana kadipaten di Maospati.

Pemindahan Kadipaten Madiun ke Maospati tentu dengan sengaja dengan berbagai pertimbangan. Tentu Maospati merupakan wilayah yang sangat strategis. Karena berada dipersimpangan antar kadipaten. Apalagi waktu itu belum ada pangkalan Iswahyudi.

Raden Ronggo jabatan di Maospati selama 8 tahun (1802-1810). Dan pada masanya Maospati menjadi wilayah yang maju pesat. Kraton dibangun dengan bata merah yang indah. Dan di beberapa tempat dipasang meriam. Pada saat gugurnya Raden Ronggo istana Kadipaten Madiun di Maospati dibumihanguskan sehingga rata dengan tanah.

Salah satu putra Raden Ronggo dari selir adalah Sentot (1808-1855) yang kemudian bergelar Ali Basah Abdul Mustopo Prawirodirdjo. Setelah ibunya meninggal, Sentot kecil diambil alih kakak perempuannya dari ibu yang berbeda RA Madu Retno yang menjadi istri Pangeran Diponegoro.

Sentot dibesarkan di kediaman Pangeran Diponegoro selama 11 tahun. Diantara bulan September 1814 hingga Juli 1825. Sebenarnya sentot diharapkan kelak belajar di pesantren menjadi santri, namun menolak keras. Ketika usianya menginjak 17 tahun pada Agustus 1826 menerima gelar Ali Basah.

Sentot kemudian menjadi panglima kavaleri paling hebat selama perang Jawa. Namun akhirnya Sentot harus menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Dan Sentot meninggal di pengasingannya Bengkulu tanggal 17 April 1855. Dan Pangeran Diponegoro juga ditangkap dengan licik melalui tipu muslihat di Magelang 28 Maret 1830. Kemudian diasingkan di Manado dan meninggal di Makassar.

Dalam pengasingannya Pangeran Diponegoro menulis Babad Diponegoro yang ditulis sendiri dalam hurup Jawa. Salah satu bait dari babad tersebut, Pangeran Diponegoro memuji mertuanya. Salah satu penyemangat Pangeran Diponegoro angkat senjata adalah semangat perjuangan mertuanya sendiri Raden Ronggo Prawirodirdjo III.

Dalam bait tersebut Pangeran Diponegoro menyebut mertuanya sebagai bantheng, ”saicale Raden Ronggo, nenggih nagri Ngyayogya, wus tan ana banthengipun.” Yang artinya, setelah lenyapnya Raden Ronggo, sebetulnya kerajaan Yogyakarta, sudah tidak punya lagi seorang pelage/banteng. Dan Raden Ronggo ketika angkat senjata kebetulan juga seusia Pangeran Diponegoro ketika angkat senjata.

Dari bumi Maospati, Magetan lahir para pejuang bangsa yang ingin negerinya lepas dari kesewenang-wenangan penjajah Balanda. Baik itu raden Ronggo maupun Sentot. Dan perlawanan Pangeran Diponegoro juga tak lepas dari contoh perjuangan mertuanya angkat senjata melawan Belanda.

Semangat yang sama, nampaknya juga memberi inspirasi kepada RMTA Soerjo. Kabupaten Magetan juga beruntung, memiliki salah satu putra terbaik bangsa RMTA Soerjo yang lahir di Magetan 9 Juli 1898. Pahlawan nasional yang pernah menjabat Bupati Magetan 1938-1943. Seorang terpelajar berpendidikan sekolah pamong praja yang lebih dikenal Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Yang hidupnya diabdikan pada perjuangan bangsa. Bahkan hidupnya berakhir tragis di tangan kebengisan PKI dalam peristiwa 1948.

Dan tentu pada jaman penjajahan tidak semua orang bisa mengenyam pendidikan kepamongprajaan seperti RMTA Soerjo. Hanya putra-putra para bangsawan yang diberi kesempatan. Setelah lulus, kemudian meniti karier dari bawah mulai sebagai kontroler di Ngawi, kemudian wedana Pacitan.      

Pada pemerintahan Jepang kemudian diangkat sebagai residen Bojonegoro 1943-1945. Tentu pengangkatan sebagai residen dari berbagai pertimbangan matang. Yang pasti, dianggap memiliki kapasitas yang memadai. Mengingat sejak jaman Mataram, bupati Magetan belum mempunyai pengaruh besar utamanya keluar. Sehingga kapasitas pribadi menjadi salah satu pertimbangan.

Ketika Indonesia merdeka, pada sidang tanggal 19 Agustus 1945 dibentuklah 8 (delapan) wilayah provinsi di Indonesia. Kedelapan provinsi itu adalah Jabar, Jateng, Jatim, Sumetera, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil dan Maluku. Sehingga Provinsi Jawa Timur pembentukannya adalah tanggal 19 Agustus 1945.   

Dan kemudian RMTA Soerjo diangkat sebagai Gubernur Jawa Timur, dilantik pada 5 September 1945. Namun ketika dilantik, beliau tidak langsung pindah tugas ke Surabaya sebagai gubernur, karena harus menyelesaikan tugasnya sebagai residen.

Baru kemudian tanggal 12 Oktober 1945 RMTA Soerjo boyong ke Surabaya mengemban Amanah senagai gubernur. Dengan mulai berputarnya pemerintahan Provinsi Jawa Timur sejak 12 Oktober 1945. Dan oleh panitia penetapan hari jadi, tanggal kepindahan Gubernur RMTA Soerjo ke Surabaya ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Timur. Bukan pembentukan Provinsi Jawa Timur oleh pemerintah pusat tanggal 19 Agustus 1945.

Dalam situasi masa transisi dan usaha kembalinya penjajah Belanda dengan membonceng Inggris, menjadi tugas yang sangat berat bagi RMTA Soerjo sebagai gubernur. Jiwa kepahlawan dan nasionalisme betul-betul diuji. Namun sejarah mencatat, dalam situasi tekanan Inggris yang demikian hebat, Gubernur Soerjo menolak ultimatum untuk menyerah sesuai kemauan Inggris.

Bahkan ketika militer Inggris memberi ultimatum ancaman melalui selebaran kepada seluruh masyarakat, kemudian usaha untuk melakukan negoisasi gagal, dan usaha minta arahan dari pemerintah pusat kemudian diserahkan kembali keputusan kepada Gubernur RMTA Soerjo, akhirnya beliau mengambil sikap. Dan sikap yang diambil sungguh menunjukkan jiwa patriotiknya.

Dalam teks pidato yang dibacakan melalui radio, Gubernur RMTA Soerjo menjawab ancaman militer Inggris:

“Saudara-Saudara Sekalian”

Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yaitu berani menghadapi segala kemungkinan.

Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap ialah: Lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Dan juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris, kita akan memegang teguh sikap itu. Kita tetap menolah ultimatum itu.

Dalam menghadapi kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir dan batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan.

Selamat berjuang.

Demikian jawaban Gubernur RMTA Soerjo atas ultimatum militer Inggris melalui radio. Dan pidato itu disambut rakyat Surabaya dengan semangat juang yang tinggi. Apalagi kemudian disusul pidato dari radio Badan Pemberontakan Rakyat Indonesia oleh Bung Tomo. Malam itu rakyat Surabaya tidak ada yang tidur. Dan betul pagi harinya hari Sabtu 10 November 1945 meriam Inggris mulai menghujani kota Surabaya.

Surabaya hari itu digempur habis-habisan angkatan laut, udara dan darat Inggris. Tidak kurang dari 24.000 pasukan darat dikerahkan. Namun arek-arek Surabaya dengan gagah berani menghadapi gempuran pasukan Inggris dengan senjata seadanya. Namun tidak menyurutkan nyali. Dan sesuai seruan Gubernur RMTA Soerjo, “lebih baik hancur dari pada dijajah kembali” betul-betul membakar semangat perjuangan.

Ketika pemerintahan Republik Indonesia berpindah di Yogyakarta, dilakukan mutasi di kalangan pemerintah. Diantaranya Gubernur Jawa Timur. Semula RP Soeroso yang diangkat sebagai Gubernur Jawa Timur menggantikan RMTA Soerjo yang diangkat sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung di Jogyakarta. Pengangkatan RP Soeroso mendapat penolakan dari berbagai elemen. Kemudian pada bulan Juni diangkat Dr Moerdjani sebagai Gubernur Jawa Timur.

Sebagai pejabat tinggi negara, RMTA Soerjo harus memberikan pertimbangan setiap masalah kepada pemerintah di Jogyakarta. Situasi keamanan Jawa Timur yang kala itu menjadi perhatian RMTA Soerjo untuk disampaikan kepada pemerintah mengharuskannya berangkat ke Yogyakarta. Dan memang situasi kemanan di Jawa Timur ketika peristiwa Madiun menjadi sangat tidak stabil. Pertumpahan darah ada dimana-mana.

Pertumbahan darah itu bahkan membawa korban adik RMTA Soerjo yang terbunuh oleh kekejaman PKI. Dan adiknya kemudian dimakamkan di Madiun. Dalam peringatan 40 harinya beliau terpanggil untuk hadir dan ziarah. Mengingat kondisi situasi Madiun yang saat itu tidak aman, keberangkatannya sempat dicegah oleh Bung Hatta. Diharapkan beliau untuk tidak berangkat ke Madiun.

Setelah upacara peringatan 10 Nopember 1948, RMTA Soerjo memaksa untuk tetap pergi ke Madiun. Di tengah jalan di wilayah hutan jati di Ngawi, bertemu dengan rombongan Amir Sjariffudin dkk yang akan menyingkir ke Purwodadi karena terdesak oleh pasukan Siliwangi. Di situlah kemudian beliau dibunuh dengan keji.

Kesaksian itu disampaikan Kamituwo Desa Plang Lor (lihat buku Lubang-lubang Pembantaian diterbitkan Jawa Pos): Waktu itu saya merasa kaget melihat beribu-ribu orang itu, sampai jalan besar jurusan Ngawi-Solo menjadi penuh sesak. Bukan hanya yang berpakaian tentara, melainkan ada pula yang berpakaian hitam-hitam dan ada pula ibu-ibu yang menggendong anaknya.

Belum lagi hilang kekagetan Kromo Astro dan orang desanya, mendadak dari arah barat meluncur sebuah mobil sedan berwarna hitam. Menurut Kromo Astro, mobil itu kemudian dihentikan oleh rombongan manusia tersebut. dari mobil itu keluar tiga orang langsung ditodong senapan. Ketiga orang tersebut kemudian dilucuti dan diseret beramai-ramai sambil diteriaki,”Wah iki penggedhe sing gaweane mengan enak turu kepenak.”

Waktu itu penunggang kudha jragem yang dipanggil pak Amir oleh yang lain, membatalkan pembunuhan itu. Dia memerintahkan agar ketiganya dibunuh saja di dalam hutan yang lebih jauh. Dan ketiga orang yang kemudian dibunuh dalam hutan adalah RMTA Soerjo, Kombes M Doerjat dan Komisaris Polisi Soeroko.”

RMTA Soerjo terbunuh pada peristiwa Madiun. Namun semangat juangnya patut kita catat. Tidak salah kalau kemudian hari jadi Provinsi Jawa Timur tidak ditetapkan pada saat pembentukannya yaitu tanggal 19 Agustus 1945, namun justru ketika RMTA Soerjo boyongan dari Bojonegoro ke Surabaya selaku gubernur pada tanggal 12 Oktober 1945. Sehingga roda pemerintahan mulai berjalan.

Kita tidak bisa bayangkan kalau seandainya RMTA Soerjo memiliki pribadi yang lemah. Tentu ceritanya akan lain. Dengan berkobarnya peristiwa 10 November 1945 tentu membawa serta melecut pemuda dan masyarakat seluruh negeri bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan.

Di Maospati, Magetan lahir Sentot yang kemudian menjadi panglima perang andalan Pangeran Diponegoro. Dan Pangeran Diponegoro memiliki semangat juang terinspirasi perjuangan mertuanya sendiri Raden Ronggo Prawirodirdjo III. Dan kemudian Perang Diponegoro menjadi perang terbesar dan terlama yang menguras keuangan Belanda.

Dan RMTA Soerjo lahir di Magetan. Bahkan pernah menjadi Bupati Magetan. Dan beliau tidak bisa dipisahkan dari pertempuran 10 Nopember 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Apakah itu tidak istimewa. Karena tidak semua kabupaten/kota bisa melahirkan pahlawan bangsa. Yang bisa menginspirasi perjuangan dan pengorbanan generasi berikutnya.  

Dan juga secara kebetulan 12 Oktober merayakan HUT Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Magetan bersamaan tanggalnya. Bukan hanya kebetulan, namun sudah kehendak yang Maha Kuasa. Alam semesta yang telah membawa kesamaan itu. Apakah hal ini juga tidak istimewa!!!!!

Ditulis oleh: Suprawoto

Bupati Magetan (2018-2023)

Berita Terkait

Hot this week

Pedoman Media Siber

Kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan berekspresi, dan kemerdekaan pers adalah hak...

Kode Etik

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia...

Tentang Kami

Dari POJOK SelosariJikalau air di Telaga Sarangan dibuat menjadi...

Pilkada Serentak

MINGGU depan ini, tanggal 27 November 2024 masyarakat yang...

Ada Gugatan ke MK, KPU Magetan Belum Lakukan Penetapan Hasil Pilkada

Magetan - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Magetan belum...

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories