Selamat merayakan idul fitri 1444 Hijriyah bagi seluruh umat islam di muka bumi baik yang melaksanakannya pada Tanggal 20, 21 maupun Tanggal 22 April yang lalu.
Dalam konteks Indonesia, perbedaan ini merupakan sesuatu yang sangat lazim terjadi mengingat terdapat beberapa metode dalam menghitung berakhirnya Bulan suci ramadhan.
Secara eksistensial idul fitri pada Tahun ini bisa disebut sebagai idul fitri pertama yang benar-benar terbebas dari himbauan oleh pemerintah terkait dengan potensi penyebaran virus covid-19 yang disebabkan dari adanya pulang kampung pada saat idul fitri. Tiga Tahun sebelumnya bisa kita ingat masih banyak himbauan pemerintah terkait hal tersebut.
Sehingga dengan tidak adanya himbauan tersebut, saya kira akan banyak masyarakat Indonesia yang melakukan prosesi mudik pada Tahun ini, namun di Hari pertama saya mudik, beberapa orang menyampaikan kepada saya bahwa di Kotanya yang merupakan salah satu tempat mudik masih terhitung sepi. Seperti yang dikatakan oleh salah satu tukang becak di sudut Kota Ngawi pada saya waktu itu.
Tentu saja apa yang disampaikan oleh tukang becak tersebut bisa kita aminkan maupun tidak, mengingat kemungkinkanan terdapat perbedaan kondisi di setiap Kota masing-masing, namun yang bisa kita aminkan pada idul fitri Tahun ini adalah banyak masyarakat yang mengincar baju dengan warna sage green yang banyak dibicarakan di beberapa platform media sosial.
Terlepas dari berbagai fakta diatas, perlu kita ingat lagi terdapat satu peribahasa yang menyatakan bahwa secara esensial idul fitri bukanlah tentang baju yang baru sebagaimana yang kita sering alami sejak kecil, namun esensinya adalah penambahan dari kualitas keimanan seseorang. Bagi saya pribadi peribahasa tersebut berisi dua premis yang dimana premis kedua tidak secara mutlak dimaknai membatalkan premis yang pertama.
Secara mudahnya, bagi saya ketika kita “saklek” dalam memaknai peribahasa tersebut, maka akan kita negasikan dari adanya budaya berbaju baru ketika idul fitri dengan hanya fokus kepada penambahan kualitas takwa dari seseorang. Padahal di satu sisi kita ketahui secara bersama bahwa adanya budaya berbaju baru pada idul fitri sangat lekat dengan surplus peningkatan ekonomi sektoral. Sehingga hal tersebut dapat dimaknai bahwa agama tidak sekedar berbicara hal-hal yang sangat spiritual saja, namun hal-hal duniawi juga menjadi fokus dari adanya agama.
Secara lebih jauh, analisis yang sering kita pahami secara bersama adalah walaupun dengan munculnya modernitas yang ditandai dengan penggunaan teknologi secara masif dan aktif dan secara tidak langsung proses pengharapan terhadap kehidupan layak yang disandingkan terhadap sesuatu yang sakral atau supra inderawi mulai tergantikan, namun akhir-akhir ini semangat untuk kembali terhadap kehidupan yang disandingkan terhadap agama mulai melekat kembali.
Yang menjadi problem dengan adanya semangat kembali terhadap nilai-nilai keagamaan tersebut adalah sering kali semangat tersebut hadir bersamaan dengan terbiasanya masyarakat memaknai sesuatu secara tekstual dan tidak konstekstual sebagaimana yang saya jelaskan pada masalah baju baru dan menambahnya ketakwaan seseorang.
Memang dalam perkembangannya, agama laksana dua sisi koin yang berbeda, dimana dua sisi koin itu sering dipahami sebagai implikasi positif dan negatif dari agama terhadap dinamika sosial-kemasyarakatan. Dampak negatif yang sering kita lihat adalah mengenai tindakan-tindakan ahumanis layaknya peristiwa 9/11 di Amerika, tindakan penolakan terhadap keyakinan yang berbeda atau seperti sesimpel penumpukan sampah plastik pasca berbuka puasa ramadhan bagi kalangan umat islam.
Pada sisi lain agama juga memberikan dampak yang positif bagi dinamika sosial-budaya setempat, seperti misalkan beberapa gerakan-gerakan filantropi dari agama yang dalam konteks islam adalah terkait keberadaan zakat yang disalurkan oleh “si kaya” kepada “si miskin” atau misalkan bagaimana dampak dari idul fitri terhadap peningkatan ekonomi karena adanya prosesi mudik atau membeli baju baru sebagaimana yang saya jelaskan diatas.
Idul Fitri dan Dampak Positifnya
Pada titik ini walaupun saya ingin menegaskan bahwa dari peribahasa di atas jangan sampai ada peminggiran terhadap baju baru terhadap idul fitri itu, namun saya juga tidak benar-benar ingin melupakan terkait dengan dampak menaiknya ketakwaan seseorang yang disebabkan karena telah usai melaksanakan puasa ramadhan tersebut. Namun bagi saya premis kedua itu yang tidak boleh dilupakan.
Baik yang sifatnya ukhowi maupun duniawi perlu kita sinergikan untuk dapat menjadi salah satu dampak yang ada dari suatu ritus maupun kebudayaan yang lahir dari setiap agama. Bagi saya cukuplah umat beragama terkena dampak dari pola pikir yang distorsif terhadap sekularisme yang sebatas ingin memisahkan urusan-urusan dunia dan agama.
Padahal jika seperti misalkan menurut Habermas yang menyatakan bahwa agama memiliki potensi untuk menjawab problematika disintegrasi antar masyarakat satu sama lain yang diakibatkan karena merebaknya individualisme sebagai konsekuensi logis dari adanya tatanan masyarakat modern.
Bagi Habermas hal tersebut tidak berlebihan mengingat liberalisme yang diharapkan bertanggung jawab terhadap hal tersebut nyatanya tidak meiliki solusi, sehingga baginya individuliasme hanya bisa diselesaikan dengan suatu praksis hidup secara kontinu dalam bentuk kelompok-kelompok dan hal tersebut hanya ada pada agama.
Setidak-tidaknya dapat kita telaah dari adanya idul fitri di Indonesia yang kemudian melahirkan budaya mudik, dimana banyak masyarakat yang melakukan pulang ke kampung halaman untuk bersatu kembali dengan keluarga-keluarganya dan bersilaturahim bersama masyarakat sekitar kampung halamannya.
Selain daripada itu, tercatat dengan adanya idul fitri banyak individu-individu yang kemudian melakukan pembelanjaan terhadap beberapa barang maupun jasa, yang paling mainstream adalah mengenani baju baru yang dibeli dari toko-tokok baju yang dipercaya ini dapat menjadi salah satu indikator berputarnya ekonomi.
Sehingga secara konkrit, bagi saya jika agama ingin menjadi salah satu instrumen untuk dapat menjawab berbagai macam problematika kontemporer, jurang pemisah antara urusan ukhrowi dan duniawi mulai hari ini harus mulai dilepaskan, sehingga hal-hal yang sepele seperi pertemuan antara idul fitri dengan baju baru harus diketemukan kembali. Sehingga nilai-nilai sosial dari agama tetap hidup dan tumbuh meskipun baju kita tidak baru dalam idul fitri kali ini. *
*Ditulis oleh Akbar Buntoro, warga Maospati, Magetan