
Akhir-akhir ini, baik di media mainstream maupun media baru, serta media sosial dipenuhi dengan informasi mengenai banyaknya orang bahkan pejabat yang terjebak dalam gaya hidup mewah.
Ini yang kemudian justru mendapatkan tempat yang subur ketika merebaknya media sosial yang dipakai untuk memamerkan kekayaannya atau flexing.
Apakah itu salah? Tentu tidak!!!! Hanya tidak etis. Apalagi dilakukan oleh ASN atau pejabat negara. Di tengah-tengah kesulitan ekonomi yang diderita oleh sebagian besar masyarakat akibat pandemi dan ancaman krisis ekonomi dunia.
Wajar kalau tidak hanya pemerintahan saat ini, sejak negeri ini merdeka setiap pemerintah yang berkuasa selalu menganjurkan pejabat pemerintah untuk hidup sederhana. Namun, dengan berjalannya waktu, ujung-ujungnya anjuran itu dilupakan begitu saja.
Mengapa anjuran hidup sederhana itu selalu digaungkan setiap pemerintah yang bekuasa di negeri ini? Tentu masih banyaknya masyarakat miskin yang harus dientas. Masih adanya daerah tertinggal yang harus diperhatikan, tentu hidup mewah bagi pengambil kebijakan di negeri ini akan melukai hati masyarakat.
Kesederhanaan hidup setiap pemimpin negeri akan menjadikan empati. Menjadikan semangat rakyat untuk ikut terus memperbaiki. Karena rakyat percaya akan pemimpin yang telah menjadi panutan akan kebaikan negeri.
Salah satu founding fathers kita Mohammad Hatta telah memberikan contoh kepada kita. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk negeri kita yang tercinta. Walau pilihan itu pahit. Sebagai sarjana ekonomi di jaman Hindia Belanda, kalau ingin hidup enak sebagai pilihan bergabung saja dengan penjajah. Tapi itu tidak dilakukannya.
Pilihannya berjuang untuk kemerdekaan. Walau konsekuensi berat harus ditanggungnya. Diadili, dipenjara dan dibuang di tempat pembuangan di tempat yang begitu kejam kala itu, Digul. Tempat paling ditakuti, selain di tengah rimba raya, penuh dengan nyamuk malaria, juga buaya.
Tapi tidak menyurutkan nyalinya untuk teguh pada penderiannya, memperjuangkan kemerdekaan. Bahkan kepentingan pribadi betul-betul dijaukannya. Betapa hebat sumpahnya!!!! Tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Dan itu ditepatinya.
Ketika kemerdekaan dicapai oleh bangsa ini, dan pernyataan kemerdekaan ditandatangani Sukarno-Hatta, kemudian Hatta menjadi Wakil Presiden yang pertama. Hidup sederhana menjadi pilihannya.
Tentu pilihan itu sudah pasti dilakukan karena, masih begitu banyak bangsanya dalam kemiskinan dan kebodohan. Dan siapa yang meragukan kesederhanaan Bung Hatta.
Kita tentu masih ingat kisah sepatu Bally Bung Hatta yang sangat menyentuh itu. Pada jamannya, sepatu Bally merupakan dambaan setiap orang tak terkecuali Bung Hatta untuk memilikinya. Sebagai seorang wakil presiden, tentu bukan sesuatu yang sulit mestinya untuk memilikinya.
Kalau umumnya orang selalu menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi Hasrat kepentingan pribadinya, tidak dengan Bung Hatta. Kalau mau menggunakan kekuasannya tentu dengan mudah untuk memiliki. Misalnya, minta tolong teman-temannya atau bawahnnya di berbagai kementerian.
Utamanya kementerian luar negeri untuk membelikannya melalui KBRI di Swiss dimana sepatu itu diproduksi. Toh negara Swiss banyak lembaga dunia yang berada di sana. Dan tentunya banyak pejabat negara yang sering hadir di sana.
Anehnya, itu tidak dilakukan oleh Bung Hatta. Justru yang dilakukannya adalah tindakan yang tidak biasa dilakukan pejabat tinggi seperti Bung Hatta. Yang dilakukannya malahan menabung guna membeli sepatu impiannya.
Sayangnya setiap tabungannya cukup untuk membeli, ada saja halangannya. Kalau tidak saudaranya, juga temannya yang sangat membutuhkan uluran tangan Bung Hata yang mengharuskan mengambil tabungannya. Sampai akhir hayatnya Bung Hatta tidak pernah kesampaian membeli sepatu Bally impiannya.
Yang sungguh mengharukan, alamat toko sepatu impiannya tersebut tersimpan rapi di buku agenda Bung Hatta berupa iklan yang sengaja digunting. Harapannya sewaktu-waktu tabungannya cukup untuk membeli sepatu impiannya, tidak sulit untuk mecari alamatnya.
Namun sekali lagi, sampai akhir hayatnya tidak pernah terbeli oleh bapak bangsa sebagai pribadi yang sangat sederhana sampai akhir hayatnya.
Mengapa kita sebagai penerus justru tidak mencotoh pribadi Bung Hatta. Agama kita mengajarkan. “Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah, karena kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah di antara kalian. “ (HR Abu Dawud).
Kalau kita diberi rezeki lebih, akan lebih mulia apabila diberikan kaum dhuafa dan lemah. Kalau kemuliaan itu menjadi keutamaan hidup kita semua, tentu negeri ini kebaikan akan hadir dimana-mana. *
*Ditulis oleh Bupati Magetan, Dr. Drs. H. Suprawoto, SH, M. Si