GEMA pemilihan kepala daerah di Magetan seolah mulai mengalami stagnasi. Pasca terjadinya hingar bingar pendaftaran para kandidat ke partai, kini tensi politik mulai agak menurun. Para tokoh politik mulai menemukan ketebatasan energi dan ruang dalam bermanuver.
Sehingga yang tejadi adalah pengulangan-pengulangan aktivitas politik. Mengulas kelebihan dan kekurangan kandidat, membahas kelanjutan dan kemungkinan bongkar pasang koalisi, atau otak – atik tentang pasangan calon yang sudah muncul ke publik.
Memang begitulah yang bisa dilakukan para elite politik di daerah saat ini. Kurang lincah dalam manuver berkoalisi, tidak bisa sat set dalam mengotak-atik pasangan calon, dan yang pasti tidak bisa menentukan calon yang akan diusungnya. Sebab, kebijakan-keijakan tersebut menjadi kewenangan elite partai di pusat.
Elite partai daerah hanya memiliki kewenangan menjalin komunikasi antar partai di daerah, membuka pendaftaran dan menjaring para bakal calon, dan mengusulkannya ke pengurus partai yang tingkatannya lebih tinggi.
Bisa jadi, koalisi yang di bangun pengurus partai di daerah berbeda dengan yang dikehendaki pengurus partai di pusat. Bisa juga, bakal calon yang diusulkan pengurus partai di Magetan akan berbeda dengan rekomendasi yang diberikan pengurus partai di pusat.
Atau bahkan, muncul calon yang direkomendasi itu tidak terdaftar atau masuk dalam penjaringan partai di Magetan. Dengan mekanisme pilkada yang hanya menerima pendaftaran bakal calon yang direkomendasi pengurus pusat partai, maka kemungkinan-kemungkinan munculnya kejutan dari “wong pusat” itu masih sangat mungkin terjadi.
Kondisi inilah yang menjadikan dinamika politik di Magetan terjadi stagnasi. Tidak ada pengurus partai di Magetan yang berani memastikan partainya berkoalisi dengan partai mana. Juga tidak ada yang berani memastikan mengusung calon siapa digandengkan dengan siapa. Semua masih menunggu keputusan wong pusat.
Meski rekomendasi pasangan calon itu kewenangan pusat, ada beberapa hal yang umum dijadikan dasar dalam mengambil keputusan itu. Diantaranya adalah linieralitas. Artinya, pengurus pusat partai akan condong menentukan koalisi partai di tingkat daerah sesuai dengan koalisi yang dibangun di tingkat atas.
Misalnya, Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, dan PAN. Tidak hanya dalam pilpres lalu, koalisi ini ternyata juga di break down dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur. Dimana, pasangan Khofifah Emil secara bulat di dukung juga oleh KIM.
Lantas apakah hal itu bisa terjadi di Magetan? Sangat mungkin terjadi. Karena seringnya para elite tersebut bertemu di Jakarta atau dalam persiapan pilgub Jatim, sehingga memunculkan koalisi Indonesia Maju di Magetan.
Selain linieralitas, popularitas dan elektabilitas juga menjadi faktor penting bagi partai di pusat dalam menentukan rekomendasi pasangan calon bupati dan wakil bupati.
Popularitas dan elektabilitas yang diukur menggunakan metode yang rasional dan sistematik, akan menjadi acuan utama dalam menentukan paslon yang diusung. Sebab, pengurus partai di pusat maupun di daerah pasti ingin mengusung paslon yang memiliki potensi menang paling tinggi.
Kemenangan paslon yang diusung dalam pilkada tahun ini, akan berdampak pada nasib partai pada Pemilu 2029 mendatang. Ada satu hal lagi yang bisa mempengaruhi keputusan wong pusat dalam mengeluarkan rekomendasi paslon bupati dan wakil bupati. Kedekatan.
Ya, meski terkesan klise dan tidak rasional, faktor kedekatan itu bisa menjadi penentu seseorang mendapat rekomendasi dari wong pusat. Kedekatan itu bisa dibangun karena adanya relasi profesionalisme, keluarga, pertemanan, atau hal-hal lain yang bisa mendekatkan tokoh itu dengan wong pusat.
Prinsipnya, hiruk pikuk, hingar bingar, gegap gempita pilkada yang terjadi di Magetan saat ini bisa dibalikkan dengan sekejap oleh wong pusat. Kita tunggu saja kejutannya! *
*Ditulis oleh: Didik Haryono, Mantan Kades Soco yang sedang menyelesakan Magister Kebijakan Publik di Universitas Airlangga Surabaya.