Tidak seperti sekarang, pemilu pertama belum serentak memilih wakil kita. Memang sistem pemerintahan berbeda, kita masih memakai sistem parlementer. Menteri bertanggungjawab kepada parlemen. Sistem itu kemudian menginspirasi sistem pemerintahan yang ada di daerah.
Reformasi mengubah semuanya. Telah enam kali sejak reformasi pemilu diadakan. Pemilu 2024 adalah pemilu keenam era reformasi. Dan hasil Pemilu 2024 telah diketahui. Siapa presiden dan wakilnya. Demikian juga peta politik masing-masing daerah. Baik untuk anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi maupun kabupaten/kota. Dan siapa saja yang berhak mewakili daerah masing-masing untuk anggota DPD sebagai senator.
Tapi kita sering lupa, siapa pemenang Pemilu 1955. Untuk Pemilu 1955 dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan tanggal 29 September 1955 memilih anggota DPR. Sedang tahap kedua tanggal 15 Desember 1955 memilih anggota konstituante. Pemenang pemilu 1955 untuk anggota DPR dan Konstituante secara berurutan PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Lantas kapan pileg untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan? Tidak seperti pemilu 2024 yang serentak memilih presiden/wakil, DPD, DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota. Untuk pemilihan DPRD dilaksanakan tersendiri dan dilaksanakan masing-masing daerah.
Dengan berlakunya UU No: 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah salah satu amanat segera membentuk DPRD. Sebagai tindak lanjut, segera dilaksanakan pemilu untuk pengisian anggota DPRD. Sampai dengan akhir tahun 1957, hampir seluruh provinsi/kabupaten/kota di Jawa dan Madura telah terbentuk anggota DPRD hasil pemilu.
Apakah hasilnya sama dengan peta politik nasional 1955, dimana pemenang dengan secara berturut-turut PNI, Masyumi, NU dan PKI. Bagaimana pemenang masing-masing wilayah. Ternyata hasilnya bervariasi. Khusus untuk wilayah Mataraman ternyata pemenang bukan PNI , NU atau Masyumi.
Wilayah Mataraman merupakan wilayah Jawa Timur bagian Barat yang dulu merupakan wilayah kerajaan Mataram (Kasunanan dan Kasultanan) dan secara budaya merupakan budaya Mataram. Dan wilayah Mataraman secara administratif dulunya merupakan wilayah eks Karesidenan Madiun dan Kediri.
Untuk wilayah Mataraman dalam Pileg 1957 untuk mengisi anggota DPRD wilayah Mataraman pemenangnya ternyata PKI. Dan PKI menguasai hampir semua DPRD kabupaten/kota. Tentu hasil ini sangat mengejutkan, mengingat PKI tahun 1948 baru saja menjadi partai yang berkhianat terhadap bangsa Indonesia yang baru merdeka. Dan Pemilu dilaksanakan tidak jauh dari peristiwa 1948.
Peta Politik DPRD Mataraman Pileg 1957
Dari hasil tersebut, hanya Kabupaten Nganjuk PKI kalah dengan partai nasional PNI. Itupun selisihnya hanya dua kursi. Dari tiga belas kabupaten/kota seluruh Mataraman, 12 daerah dikuasai oleh PKI. Itulah yang kemudian mengejutkan sekali bagi kita semua, kok PKI menang, mengingat partai ini baru saja berkhianat.
Kalau kita belajar dari peristiwa Pekalongan dalam revolusi sosial yang terjadi di akhir tahun 1945, dan untuk lebih jelas baiknya baca buku “Peristiwa Tiga Daerah” oleh Anton Lucas yang merupakan disertasi di Australian National Univerisity. Dalam revolusi sosial yang terjadi salah satu sebab karena pengaruh Pabrik Gula yang waktu itu memiskinkan rakyat.
Di atas kemiskinan yang terjadi, dan berkurangnya milik tanah dan beban pajak berdiri industri gula kolonial. Tak heran bila Jawa merupakan pengekspor gula terbesar nomer dua di dunia setelah Cuba. Dan pabrik gula tidak diperbolehkan memiliki tanah untuk ditanami tebu, melainkan harus menyewa tanah dari rakyat.
Tanah disewakan dengan tenaga kerja yang murah, sedang keuntungan pabrik gula sangat melimpah. Keuntungan yang menikmati adalah orang-orang Eropa. Dan birokrasi menjadi alat. Ketika Indonesia merdeka belum banyak berubah. Petani tetap harus tetap menyewakan kepada pabrik gula dengan sistem “glebakan.” Tidak mengherankan revolusi sosial setelah merdeka terjadi di wilayah perkebunan seperti Sumatera Utara, Pekalongan (Peristiwa Tiga Daerah), Surakarta dan Madiun dll.
Dan revolusi sosial yang terjadi digerakkan oleh kelompok radikal kiri (dengan cepat memperoleh anggota demikian banyak) dengan tokoh yang menginspirasi yaitu Tan Malaka, karena idiologi yang dibawanya memberikan hope pada rakyat tertindas. Walaupun kemudian dalam perjalanannya berseberangan dengan pimpinan PKI lainnya.
Dan Muso kemudian menjadi tokoh sentral peristiwa Madiun 1948. Kawan lama Sukarno ketika masih sama-sama ngekos di rumah HOS Cokroaminoto di Surabaya. Dan akhirnya Muso mati ditembak. Sayangnya peristiwa Madiun tidak menjadikan Sukarno melarang PKI sebagai partai terlarang, tetapi justru merangkul. Bahkan pada pemilu 1955 menjadi partai besar nomor empat. Bahkan di wilayah Mataraman PKI menguasai kursi DPRD.
Berbeda dengan politik Suharto terhadap peristiwa 1965 dengan menumpasnya. Ratusan ribu anggota PKI dan simpatisannya terbunuh akibat peristiwa 1965. Dan selanjutnya PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Ajaran komunisme bahkan karya cetak seperti buku-buku yang terkait bahkan yang dianggap terkait juga dilarang.
Kalau kita melihat rentetan peristiwa tersebut (usaha PKI untuk merebut kekuasaan dan kursi di parlemen) salah satunya merupakan pertarungan untuk penguasaan idiologi. Dan dengan cara yang brutal, dilakukan. Bahkan korban nyawa yang demikian banyak telah menjadi catatan sejarah. Dan pemilu 2024 khususnya pileg banyak yang berpendapat juga tak kalah brutal, namun brutalnya lebih karena politik uang. Entah apa yang diperjuangkan. Yang jelas saya yakin bukan idiologi!!!! *
Catatan: adaptasi tulisan saya di Jawa Pos Radar
*Ditulis oleh: Suprawoto, Bupati Magetan (2018-2023)