
Lembeyan – Ini malam Minggu. Sekitar 20-an anak muda, masih tetap “belajar”. Tak seperti sebagian anak-anak lain, yang malam minggunya keluyuran, nongkrong, atau bermain hp.
Mereka belajar silat di Sekretariat Pendidikan Silat Olah Raga Garuda Loncat (Porsigal) Magetan di Desa Kedungpanji, Lembeyan.
Beberapa gerakan silat pada latihan malam itu, telah dipraktikkan. Waktunya, istirahat.
Ketua Porsigal Magetan, Nanang Zainudin memberikan sedikit tauziah. Tentang keagamaan, tentang islam dan keutamaan ibadah.
“Tidak semua bisa dicapai dengan instan, meskipun sekarang zamannya digital. Kalian harus tetap tirakat. Puasa senin-kamis, seperti Baginda Rasul yang hampir tak meninggalkannya,” kata Nanang kepada “santri” Porsigal.
Nanang menjelaskan, Porsigal tak hanya sekadar ilmu beladiri silat. Ada pendidikan dan olahraga. Porsigal menyebutnya sebagai trilogi keseimbangan, yakni olah jasmani, olah nalar, dan olah nala.
“Menjadi santri Porsigal itu berarti siap untuk mendidik dan dididik. Karena ilmu yang tak diamalkan itu seperti pohon yang tak berbuah,” ungkapnya.
Perpaduan pendidikan, olahraga, dan silat menjadi pembeda Porsigal dengan seni beladiri lain. Ini juga yang membuat Nurdianto, warga Tunggur, Lembeyan ikut bergabung. Dia menjadi santri, sebutan anggota Porsigal, sejak setahun lalu.
“Olahraga dan penguatan ibadah keislaman itu yang membuat saya terus belajar di sini,” ujarnya.
Sejarahnya, Porsigal berdiri di Blitar, Jawa Timur, pada 2 Maret 1978 oleh H. Atim Miyanto. Sebagai salah satu seni beladiri yang dikembangkan Nahdlatul Ulama.
Zainuddin Latif (alm) mendirikan Porsigal di Magetan, pada 1989. Berikutnya, pada 1992, Porsigal Magetan sah sebagai perwakilan Porsigal Pusat, dan 2018 masuk sebagai anggota Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Sejak tahun itu, Porsigal Magetan dipimpin, Nanang Zainudin, salah satu putra Zainuddin Latif.
Sejak berdiri, ada sekita 6 ribu santri Porsigal di Magetan. “Usia minimal menjadi santri 12 tahun atau seusia SMP. Kalau yang sedang belajar sekarang ini, sekitar 50 santri,” tambah Nanang.
Menurut Nanang, pencak silat merupakan pendidikan budaya yang adiluhung, sehingga harus dilestarikan. Dia mengakui, tantangannya makin berat sekarang.
“Anak zaman sekarang sulit belajar tirakat karena modernisasi menghadirkan banyak hal yang serba instan. Pegangannya sekarang gadget. Ini menjadi motivasi tersendiri untuk lebih kreatif agar pencak silat sebagai pendidikan budaya tak punah,” jelasnya.
Lewat komunitas kecil, lewat pendidikan olahraga silat, Porsigal Magetan tak mau menyerah dengan keadaan yang serba digital. Tujuannya, agar budaya tak lenyap ditelan peradaban. (far/mk)