Dalam setiap pilkada, ada banyak variabel yang harus dilihat secara jernih. Kasuistik setiap daerah membawa perbedaan sebab yang mengakibatkan kalah dan menangnya pasangan calon. Namun secara umum tidak akan lepas dari 3D (Dikenal, Disuka dan Dipilih).
Dalam pasar electoral akan berlaku hukum tidak dikenal maka tidak akan dipilih. Namun dikenal saja belum tentu disuka. Kalahnya pasangan incumbent, artis dan tokoh nasional yang berlaga dalam pilkada menjadi bukti nyata bahwa popularitas saja belum cukup.
Sederhananya, calon yang memiliki tingkat keterkenalan dan disuka pemilih dengan berbagai macam alasan, akan memiliki peluang besar untuk dipilih.
Maka di setiap perhelatan Pilkada, melalui berbagai cara dan sarana setiap calon akan berusaha menaikkan sisi popularitasnya. Semakin banyak dikenal, semakin popular namanya akan cenderung semakin dibicarakan. Jika ini terus berlanjut tidak menutup kemungkinan akan berkembang menjadi tren.
Fenomena bandwagon effect ini kerap sekali terjadi di mana individu mengikuti tren umum daripada mencermati kualitas para calon. Pola anut grubyuk sepertinya lebih membuat rasa nyaman dan yakin terhadap suatu pilihan politik.
Sebaliknya jika terdapat momentum kuat terhadap kandidat yang dianggap lemah dan tidak popular, maka akan memunculkan underdog effect dimana ada gelombang dukungan dan semangat perlawanan untuk memenangkan pasangan calon yang awalnya tidak diunggulkan.
Dengan demikian, kandidat yang menempati posisi underdog bisa saja diuntungkan, sebab tokoh tersebut dapat menyusun strategi kampanye yang menunjukkan citra sebagai calon alternatif yang layak dipilih.
Di saat banyak yang apatis terhadap visi misi yang ditawarkan dan tak banyak orang yang kritis mendalami gagasan para calon, terkadang mengakibatkan pilihan politik dapat menjadi kurang rasional dan lebih didasarkan kebutuhan sesaat. Apalagi gelaran Pilkada 2024 diadakan pasca Pemilu legislatif yang menyisakan banyak residu di tengah masyarakat khususnya persoalan politik uang.
Masyarakat yang menganggap politik uang adalah hal yang wajar, prosentasenya semakin hari semakin meningkat. Maka tidak heran ketika masuk dalam kontestasi Pilkada tidak saja dilihat popularitas dan elektabilitas saja namun juga mempertimbangkan isi brankas (karena isi tas saja tidaklah cukup).
Proses demokrasi dengan pendekatan prosedural, membawa segudang harapan bahwa hajatan pilkada serentak kali pertama sepanjang sejarah ini dapat berlangsung aman dan membahagiakan.
Persoalan politik uang harus tetap menjadi perhatian semua pihak agar tidak semakin merusak demokrasi dan mengurangi legitimasi kepala daerah terpilih. Dalam pendekatan substansial, semoga pemilih pada pilkada kali ini sudah memiliki rasionalitas yang cukup dalam memilih pemimpin.
Setidaknya menepis anggapan kepemimpinan harus lahir dari kalangan yang memiliki brankas tak terbatas. *
*Ditulis oleh: Dwi Ariyanto, S.E., Ketua DPD PAN Magetan