KETIKA Sultan Hamid II dari Pontianak diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, salah satu anggota tim Prof Dr Anhar Gonggong sejarawan Indonesia terkemuka saat ini tidak menyetujuinya. Salah satu alasan menolak, setelah membaca secara detail track record sebelum dan selama revolusi Indonesia tidak layak kalau kemudian Sultan Hamid II mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Sedang salah satu alasan pengusul, bahwa Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara RI Garuda Pancasila. Menurut berbagai saksi dan sumber, memang betul rancangan Sultan Hamid II yang kemudian disetujui, namun perlu diketahui rancangan Sultan Hamid II tersebut atas perintah Bung Karno kemudian diminta kepada Pelukis Dullah untuk memperbaiki sehingga bentuknya seperti sekarang.
Kemudian alasan dari yang menolak, Sultan Hamid II dalam cacatan sejarah justru diangkat sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Belanda sekaligus ajudan Ratu Belanda disaat bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Belanda. Selain itu Sultan hamid juga dikaitkan dengan peristiwa Westerling karena memang ada hubungan dekat.
Yang jelas menurut keputusan MA dalam sidangnya tanggal 8 April 1953 memutuskan, mempersalahkan terdakwa (Sultan Hamid II) melakukan kejahatan: ”Dengan maksud untuk mempersiapkan kejahatan pemberontakan, mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan pemberontakan itu, dilakukan dalam keadaan perang.” Menghukum terdakwa oleh karenanya menjalani hukuman penjara selama supuluh tahun.
Dengan demikian Sultan hamid II pernah dipidana karena kejahatannya. Tentu bagi yang menolak ini merupakan ironi bila seorang pahlawan nasional dulunya adalah dipidana yang kesalahannya seperti yang telah diputuskan oleh MA. Dan inilah pentingnya track record bagi seseorang yang akan menyandang nama besar sebuah gelar pahlawan nasional.
Suatu saat ketika saya masih menjabat di Kemkominfo sering terlibat sebagai tim pengisian jabatan eselon I, juga pengisian anggota komisi yang terkait dengan Kemkominfo seperti Komisi Informasi Pusat dan Komisi Penyiaran Indonesia. Yang terpenting dan menjadi pegangan, saya selalu mencari track record calon. Berbagai cara sesuai etika saya lakukan, untuk mendapatkan, agar keputusan yang saya ambil tidak salah, karena akan menyangkut pengambil kebijakan yang menentukan di bidang tugasnya.
Demikian juga ketika saya sebagai Ketua Tim Baperjakat untuk pejabat eselon II (setingkat direktur, kepala biro) di lingkungan kementerian. Saya akan selalu minta track record masing-masing. Dan dari Inspektorat Jenderal kemudian selalu saya minta pendapat terhadap calon. Sekali lagi agar tidak salah memilih.
Saat ini sudah ramai, pencalonan gubernur, bupati/walikota se-Indonesia. Nasib rakyat dan daerah masing-masing lima tahun ke depan ditentukan pada waktu dekat ini. Tentu masyarakat sudah semestinya melihat, siapa calon pemimpin mereka. Kalau salah pilih, maka akan menangung akibat minimal lima tahun.
Kita harus berkaca, dari daerah lain. Taruhlah Sidoarjo yang tiga pimpinan daerahnya ditangkap KPK. Berapa puluh tahun tiga pimpinan daerah tersebut yang kena kasus memimpin. Kalau seandainya pimpinan yang terpilih tersebut amanah, saya yakin daerah tersebut jauh lebih hebat dari kondisi sekarang.
Lalu bagaimana sebaiknya memilih pemimpin? Sekali lagi, menurut saya berdasarkan pengalaman selama ini sekali lagi adalah track record. Akan lebih mudah kalau para calon itu adalah mantan pejabat, baik di politik maupun birokrasi, juga di pimpinan social kemasyarakatan. Selama menjabat dan aktivitas tersebut telah berbuat apa bagi masyarakat. Selama memimpin bagaimana keputusan yang diambil? Untuk kepentingan sendiri, keluarga, golongan atau kelompoknya. Atau sebaliknya untuk masyarakat luas.
Saya percaya apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln Presiden Amerika Serikat ke-16. Kalau melihat tabiat asli seseorang maka berilah kekuasaan. Kemudian kekuasaan yang telah dipegangnya itu selama ini untuk apa. Maka diantara calon gubernur, bupati/walikota kalau pernah menjabat, baik di birokrasi, politik dan sosial kemasyarakatan pernah berbuat apa. Apakah untuk kepentingan masyarakat?
Pertanyaan itu jawabannya terpulang pada masyarakat pemilih sendiri. Mana yang paling baik diantara calon. Syukur semua baik, sehingga masyarakat tinggal memilih yang terbaik. Namun yang menyedihkan kalau semua calon dianggap tidak ada yang baik, dan masyarakat harus memilih.
Mudah-mudahan yang demikian tidak terjadi. Kalau ada, pasti ada yang salah dalam pengelolaan negeri ini.
Catatan: Tulisan ini sumbangan tulisan untuk Radar Magetan, Magetankita.com, Inti Jatim dan Seputar Jatim.
*Ditulis oleh: Suprawoto, Bupati Magetan (2018-2023).