Kamis, 13 November 2025

Tukang Pos Juga Layak Dapat Gelar Pahlawan

TEPAT delapan puluh tahun lalu, arek-arek Suroboyo berjuang dengan gagah berani melawan pasukan Sekutu yang mencoba kembali menancapkan hegemoninya di bumi pertiwi.

Dari semangat itulah, setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan, hari yang seharusnya menjadi momen refleksi, bukan sekadar ajang lomba pawai baju adat di sekolah, upacara formal di kantor pemerintahan, atau pertunjukan teatrikal yang penuh semangat tetapi sering kali kosong makna.

Hari Pahlawan semestinya menjadi waktu untuk bertanya: apa arti perjuangan di masa kini? Bagaimana jasa para pahlawan bisa kita maknai di era di mana “perang” tidak lagi memakai bambu runcing, tapi melawan ketidakadilan, kemalasan berpikir, dan kebijakan yang sering kali membuat rakyat mengelus dada?

Namun, tahun ini kita justru disuguhi tontonan yang, kalau boleh jujur, agak menggelitik nalar, bahkan terasa seperti satire politik yang terlalu disengaja. Pemerintah resmi menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Alasannya? Karena beliau dianggap berjasa dalam perang kemerdekaan dan karena “berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan politik” selama menjabat presiden. Sebagian masyarakat menyambut dengan tepuk tangan, tapi sebagian lain, terutama mereka yang masih mengingat aroma otoritarian Orde Baru, justru mengernyitkan dahi.

Bagi banyak orang, gelar itu terasa seperti menampar ingatan tentang masa represif, pembungkaman, dan ketakutan yang pernah menjadi menu harian bangsa ini di bawah bayang-bayang kekuasaan. Tapi, mari kita tenangkan emosi dulu. Mari kita lihat dengan kepala dingin dan hati yang sedikit santai.

Memang benar, Soeharto pernah menjadi bagian dari militer Indonesia saat perang kemerdekaan. Tapi bukankah itu memang tugasnya sebagai prajurit? Kalau setiap orang yang menjalankan tugas lalu otomatis diberi gelar pahlawan, maka bisa jadi tukang pos pun pantas disebut pahlawan nasional.

Bayangkan, mereka tiap hari mengantarkan surat dan paket ke seluruh penjuru negeri. Panas, hujan, macet, digonggongi anjing, tapi tetap jalan. Mereka tidak minta gelar, tidak minta penghargaan, cukup honor bulanan dan mungkin sedikit bonus kalau tidak salah kirim. Bukankah semangatnya sama seperti “menjaga stabilitas logistik nasional”?

Dan soal “stabilitas ekonomi dan politik” yang katanya menjadi jasa besar Soeharto. Bukankah itu memang pekerjaan seorang presiden? Sama seperti tukang pos yang tugasnya mengantar surat, presiden memang wajib menjaga stabilitas negara.

Kalau itu dianggap jasa luar biasa, ya berarti semua orang yang menunaikan kewajibannya di kantor juga bisa jadi pahlawan: dari tukang sapu yang menjaga kebersihan, sampai satpam yang menjaga keamanan.

Lagipula, seperti cerita Letkol Latief, ketika serangan umum 1 Maret dilancarkan, Soeharto justru sedang makan soto babat. Mungkin beliau sempat bilang, “Aku oleh perang karo ibuku, tapi kudu maem sek.” Dan, jujur saja, kita semua pasti pernah dalam posisi itu, berhadapan dengan tanggung jawab besar, tapi perut lebih dulu meneriakkan haknya.

Jadi kalau begitu, mari kita rayakan Hari Pahlawan tahun ini dengan sedikit refleksi dan senyum. Mungkin memang sudah saatnya negara ini juga memberi gelar Pahlawan Nasional untuk Tukang Pos. Karena mereka menjalankan tugasnya dengan setia, tanpa pernah menuntut tepuk tangan, tanpa korupsi, dan tanpa makan soto babat di tengah pertempuran. *

*Lucky S Herman, Ketua MSDP Movement, Sebuah Pergerakan Anak Muda yang menginginkan Kemerdekaan Sejak Dalam Pikiran.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

spot_img
spot_img

Popular Categories