“Kau akan dihadapkan pada suatu keadaan yang sama sekali baru. Dan kalau kau terlalu banyak mengingat, kau tidak akan pernah maju” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Barangkali pemerintah kita sedang menjalankan kata-kata Pramoedya di atas dengan cara yang paling serampangan dan brutal: lupakan segalanya agar bisa terus maju.
Maka, pada Hari Pahlawan 10 November pagi ini, panggung kehormatan bangsa tiba-tiba menjelma jadi sebuah teater absurd. Di atasnya, negara, dengan tangan dingin seorang presiden bernama Prabowo Subianto, menggelar sebuah perkawinan paksa antara dua arwah yang tak mungkin bersatu dalam satu liang lahat sejarah: Soeharto dan Marsinah.
Yang satu adalah Tuan Jenderal yang senyumnya menghiasi sampul majalah pembangunan, sementara di bawah permadani keluasaannya terhampar kuburan massal tanpa nama. Yang satunya lagi adalah Marsinah, seorang buruh perempuan yang nyalinya lebih besar dari upah hariannya, yang tubuhnya ditemukan hancur lebur justru ketika Tuan Jenderal itu sedang berada di puncak takhtanya.
Keduanya kini resmi menjadi “pahlawan”. Diakui negara. Ini sudah bukan lagi sebuah ironi, ini adalah sebuah lelucon paling getir yang pernah dilontarkan sebuah republik kepada rakyatnya sendiri. Sebuah parodi yang menertawakan darah dan air mata para korban.
Istana, dengan dindingnya yang tebal dan kedap suara, agaknya tak sudi mendengar teriakan penolakan yang menggema dari jalanan, kampus, pesantren, hingga ruang-ruang diskusi. Para penjaga ingatan, dari KontraS hingga Amnesty International Indonesia, dari sejarawan kampus hingga aktivis ‘98 yang yang dulu ikut menggulingkan rezim sang jenderal, semuanya lantang menyuarakan penolakan.
Sebuah koalisi raksasa bernama GEMAS (Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto) yang menghimpun 185 lembaga dan ratusan kepala waras, telah menyodorkan bukti setebal bantal berisi lebih dari 2000 halaman bukti dosa-dosa Orde Baru. Lebih dari 11.500 orang membubuhkan tanda tangan pada petisi penolakan.
Tapi semua itu menabrak tembok tebal istana yang sedang mabuk nostalgia. Tak didengar!
Usman Hamid, ketua Amnesty International Indonesia yang juga Pengurus Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah menyebut kebebalan istana ini sebagai ‘penghianatan terbesar atas mandat rakyat sejak 1998’. Sejarawan UGM, Sri Margana, dengan teduh mengingatkan bahwa usulan ini telah tiga kali gagal karena sang jenderal punya “cacat moral” yang tak bisa diputihkan.
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) menolak tegas dengan mengatakan orang NU yang setuju Soeharto sebagai pahlawan menunjukkan kurangnya pemahaman sejarah. Menurutnya banyak ulama pesantren dan NU diperlakukan tidak adil selama Soeharto berkuasa.
Namun suara keduanya tenggelam oleh pernyataan tokoh NU dan Muhammadiyah lain yang menyatakan setuju Soeharto mendapat gelar pahlawan nasional. Beritanya membanjiri kanal jagad maya. Era ini sungguh menampakkan dimana kebenaran bukan lagi fakta, tapi apa yang paling banyak dibicarakan.
Dan istana lebih percaya pada bisikan para pembelanya. Mereka menyebut Soeharto berjasa dalam perang kemerdekaan dan pembangunan awal republik berdiri. Pembangunan? Tentu saja. Tapi pembangunan yang bagaimana? Yang berdiri di atas sungai darah korban tragedi 1965-1966, yang ditopang hutang luar negeri besar-besaran, dan yang pundi-pundinya mengalir ke kantong keluarga dan kroni?
Negara tak bisa berkelit. Jejak digital dan kertas tak bisa sepenuhnya dibakar. Laporan PBB dan Bang Dunia 1997 sudah memberi stempel permanen: Soeharto adalah pemimpin terkorup di planet ini, dengan uang rakyat yang raib ditaksir mencapai 15-35 miliar dolar AS. Di dalam negeri, Tap MPR XI/1998 dan putusan Mahkamah Agung yang menghukum korupsi Yayasan Supersemar 3,17 triliun adalah bukti hukum yang tak terbantahkan.
Memberi gelar pahlawan pada sosok yang oleh hukum ditandai sebagai pesakitan adalah logika jungkir balik yang hanya mungkin terjadi di negeri yang sedang sakit ingatan.
Namun ada angka lain yang lebih mengerikan dari angka korupsi itu, yaitu angka nyawa. Komnas HAM dalam berbagai laporannya, telah menyusun sebuah daftar duka, sebuah monumen penderitaan yang coba dikubur oleh seremoni kepahlawanan hari ini. Mari kita baca pelan-pelan agar kita tak tertular penyakit lupa:
Peristiwa 1965-1966, DOM Papua (1963-2003), DOM Aceh (1989-1998), Penembakan Misterius (1981-1983), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa 27 Juli 1996, Kerusuhan Mei 1998, Tri Sakti Semanggi I dan II (1998-1999), Penghilangan Orang Paksa (1997-1998).
Marsinah, Dipaksa Bersanding di Malam Buta Kematiannya
Puncak dari parodi ini adalah Marsinah. Arwahnya dipaksa berdiri di panggung yang sama dengan arwah rezim yang menjadi malam buta kematiannya. Marsinah, yang jasadnya ditemukan di hutan dengan tulang punggung remuk, adalah monumen hidup dari perlawanan kaum tertindas terhadap kesewenang-wenangan aparat dan pengusaha yang dilindungi oleh rezim Orde Baru.
Menyejajarkannya dengan Soeharto adalah sebuah operasi cuci memori paling brutal. Menyamakan korban dengan algojonya. Menyamakan jeritan minta tolong dengan perintah tembak di tempat.
Ini adalah penghinaan paling telanjang. Pemerintah seolah ingin membisikkan pesan mengerikan: “Perjuanganmu kami akui, Marsinah, tapi jangan lupa kekuasaan yang memungkinkanmu dibunuh juga punya ‘jasa’ yang harus kami hormati”.
Ini adalah cara negara untuk menidurkan nurani publik, menciptakan amnesia kolektif agar tak ada lagi yang berani bertanya siapa dalang sesungguhnya di balik tragedi-tragedi kemanusiaan itu.
Ya, survei-survei bayaran mungkin akan menunjukkan angka persetujuan yang tinggi. Tapi angka-angka itu hanyalah gema dari 32 tahun propaganda yang meresap hingga ke sumsum tulang. Angka itu adalah bukti keberhasilan orde baru dalam memanipulasi kesadaran, bukan legitimasi untuk memutarbalikkan sejarah.
Pemerintah sudah memilih jalannya. Jalan pintas impunitas, bukan jalan keadilan. Gelar pahlawan untuk Soeharto, yang dipaksakan bersanding dengan Marsinah jangan dibaca sebagai sebuah rekonsiliasi.
Ini adalah nisan baru yang ditancapkan di atas kuburan massal para korban tragedi kemanusiaan. Sebuah nisan parodi yang selamanya akan mengingatkan kita pada hari ketika negara ini memutuskan untuk menertawakan sejarahnya yang berdarah. (*)
*Diana AV Sasa, Pendiri Perpustakaan Dbuku, sedang menyelesaikan pasca sarjana di prodi Ketahanan Nasional, UGM.





