Senin, 29 Desember 2025

Catatan Wanagama untuk Lereng Lawu

PAGI itu, udara dingin masih menempel di jalan tanah menuju pusat reboisasi Wanagama, Gunung Kidul. Hujan semalam belum sepenuhnya pergi; rintik air masih bertahan di daun-daun jati muda.

Saya berjalan pelan bersama teman-teman dari kelas Ketahanan Pangan di Program Studi Ketahanan Nasional UGM. Kami berjalan seperti orang-orang yang sedang belajar membaca ulang bumi bekerja.

Mata kuliah Ketahanan Pangan yang kami ikuti diasuh oleh tiga pakar lintas disiplin: Prof. Mohammad Na’iem, yang membaca hutan sebagai sistem kehidupan; Prof. Endang Baliarti, yang melihat pangan dari keseimbangan ternak, manusia, dan lingkungan; serta Prof. Dr. Subejo.

Dari mereka, saya belajar satu hal mendasar: pangan tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait dengan hutan, tanah, air, manusia, dan keputusan politik yang mengaturnya. Ketahanan pangan bukan sekadar soal panen, tetapi soal bagaimana sebuah lanskap dirawat atau diabaikan.

Kunjungan lapangan ke Wanagama dipimpin langsung oleh Prof. Na’iem, dengan Prof. Endang menemani perjalanan. Kami datang untuk belajar, tetapi Wanagama pelan-pelan berubah menjadi ruang renungan.

Wanagama tidak lahir dari keberuntungan. Ia tumbuh dari keteguhan orang-orang yang menolak menyerah pada tanah kering, tandus, dan berbatu. Pada awal 1960-an, kawasan ini nyaris tak memiliki humus. Air cepat hilang. Batu lebih dominan daripada tanah. Namun almarhumah Prof. Oemi Hani’in Suseno memulai sesuatu yang nyaris mustahil: menanam dengan kesabaran.

Setiap pohon ditanam dengan perhitungan. Jenis benih, jarak tanam, dan cara menjaga tanah agar tidak hanyut dipikirkan betul. Tidak ada hasil cepat. Yang ada hanyalah kerja panjang.

Puluhan tahun kemudian, Wanagama berdiri sebagai hutan pendidikan, bukti bahwa alam bisa dipulihkan bila ilmu bekerja dengan disiplin.

Wanagama mengajarkan satu pelajaran yang sederhana, namun sering terlupakan: hutan itu bukan hanya kayu; hutan adalah ruang hidup bagi manusia, flora, fauna, dan musim. Di sana, kami melihat bagaimana pengelolaan hutan yang baik bukan hanya soal menanam pohon, tetapi menyusun ekosistem yang dapat memberi ruang bagi kehidupan pangan, air, dan iklim mikro yang stabil.

Di salah satu sudut Wanagama, berdiri pohon yang sering diceritakan dengan nada bangga: Jati Mega. Batangnya lurus, riap tumbuhnya melampaui jati-jati lain. Ia lahir dari proses pemuliaan yang panjang, hasil seleksi genetika, pengamatan bertahun-tahun, dan ketekunan ilmiah. Ketika Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Wanagama, ia berhenti lama di bawah naungannya. Mengusap batang pohon itu, lalu berkata pelan namun tegas:

“Kalau negara ini ingin kuat, hutannya harus berdiri setegar ini.”

Kalimat itu ikut pulang bersama saya.

Begitu kembali ke Magetan, bayangan Wanagama tidak mau pergi dari pikiran saya. Magetan adalah rumah saya, sebuah kabupaten kecil yang memeluk kaki Gunung Lawu. Di peta, kawasan hutannya tampak kecil—sekitar 1.700 hektare. Namun di dunia ekologi, kecil tidak pernah berarti sepele. Justru di sanalah letak bahayanya. Karena hutan kecil yang berada di hulu memikul tanggung jawab besar. Hutan-hutan inilah yang menahan air Lawu agar tidak turun menjadi murka

Magetan adalah penyangga ekologis. Air yang mengalir ke Madiun, Ngawi, Ponorogo, hingga Sragen berasal dari pori-pori tanah di lereng Lawu. Plaosan, Poncol, Panekan, Sidorejo, nama-nama ini bekerja diam-diam sebagai penjaga air. Selama hutan berdiri, air turun dengan tertib. Ketika hutan melemah, air mencari jalannya sendiri. Bila ia runtuh, kota-kota di bawahnya ikut merasakan akibatnya. Ini bukan teori yang muluk. Ini hukum alam paling sederhana.

Namun Sarangan memberi peringatan yang pelan tapi jelas. Dalam dua dekade terakhir, kawasan sekitar telaga mengalami peralihan fungsi lahan yang masif. Hutan dan semak lereng Lawu berubah menjadi kebun sayur intensif, villa, penginapan, jalan, dan parkiran. Lereng curam ditanami tanaman semusim tanpa konservasi memadai. Tanah dipaksa produktif cepat. Hasilnya cepat. Kerusakannya lebih cepat lagi.

Data lingkungan mencatatnya: ribuan hektare lahan Magetan masuk kategori kritis dan sangat kritis. Lebih dari separuh lahan kritis Magetan berada di kawasan lereng dan perbukitan. Di Sarangan, sedimentasi meningkat. Telaga menyusut hingga sekitar 20 persen setiap musim kemarau. Debit air menurun, sementara erosi justru meningkat. Longsor berulang terjadi di jalur Sarangan–Cemorosewu. Kebakaran hutan Lawu beberapa tahun lalu meninggalkan luka yang belum sepenuhnya pulih. Semua ini adalah tanda-tanda bahwa penyangga sedang melemah.

Jalak Lawu mulai jarang terlihat. Ia pergi lebih dulu.

Yang menggelisahkan saya, kebijakan sering datang setelah tanah runtuh. Longsor baru ditangani setelah jalan tertutup. Telaga baru dijaga setelah air surut. Kita sibuk merapikan akibat, tetapi ragu menyentuh sebab. Padahal yang melemah bukan Sarangan semata, melainkan hulu yang perlahan kehilangan penyangga.

Kebijakan lingkungan kita masih gemar bekerja di hilir, karena di tempat ini mudah dilihat. Sementara lereng-lereng di atas dibiarkan bernegosiasi sendiri dengan hujan.

Di titik inilah Wanagama kembali relevan. Materi kuliah tentang agroforestri menjelaskan bahwa hutan tidak harus steril dari manusia. Di bawah tegakan pohon, pangan bisa tumbuh. Padi gogo, porang, tanaman bawah—semuanya bisa hidup berdampingan dengan jati bila jarak tanam dan tanah dikelola dengan benar. Hutan tetap berdiri, pangan tetap tersedia. Ekologi tidak dikorbankan demi ekonomi.

Saya sempat menganggap hutan bambu sebagai jawaban. Tetapi kemudian saya sadar, banyak program hijau berhenti sebagai dekorasi. Bambu ditanam di kawasan landai, dekat kota, mudah difoto, mudah dilaporkan. Sementara lereng curam di Sarangan—tempat air seharusnya ditahan—tetap telanjang. Kebijakan semacam ini terasa hijau dari jauh, tetapi lemah saat diuji hujan. Yang dibutuhkan bukan taman bambu, melainkan sabuk konservasi di hulu.

Bambu baru bermakna jika ditempatkan di hulu. Sebagai pagar hidup mata air. Sebagai pengikat tanah di alur-alur erosi. Sebagai sabuk vegetasi mengikuti kontur lereng. Bukan pengganti hutan keras, tetapi penguat di titik-titik paling rapuh. Diletakkan di tempat yang salah, ia hanya hiasan. Diletakkan di tempat yang tepat, ia menjadi penahan bencana.

Alam selalu memberi peringatan sebelum marah.

Sumatra telah menunjukkannya. Banjir besar datang berulang, dan setiap laporan selalu menyebut dua hal yang sama: hujan ekstrem dan rusaknya hutan hulu. Air kehilangan tempat tinggal. Ia turun membawa tanah, batu, dan kehilangan. Sarangan—dan Magetan—berada di jalur yang sama bila kita terus menganggap hutan sebagai cadangan lahan, bukan cadangan keselamatan.

Gunung Lawu menyimpan air dalam jumlah besar. Tanpa akar yang kuat, air itu akan memilih jalan tercepat ke bawah. Maka hutan Magetan bukan sekadar urusan wisata atau lanskap indah. Ia soal hidup dan mati wilayah di bawahnya.

Di kelas, saya belajar bahwa hutan tidak pulih karena seremoni tanam pohon. Hutan pulih karena silvikultur yang disiplin—ilmu yang mengatur benih, jarak tanam, tata air, dan produktivitas. Prinsipnya sederhana: kelestarian harus berjalan bersama hasil yang meningkat. Sarangan justru melakukan kebalikannya: mengambil hasil cepat dari lereng, lalu terkejut ketika tanah ikut turun.

Dari kejauhan, Lawu tampak diam. Tetapi ia sedang berbicara.

Saya belajar dari Wanagama bahwa hutan tidak cocok dengan logika proyek. Ia tidak tumbuh dalam satu tahun anggaran. Hutan pulih karena manusia mau bertekun. Puluhan tahun dibutuhkan untuk menjinakkan tanah tandus. Tidak ada jalan pintas. Tidak ada hasil instan.

Sayangnya, kebijakan sering bekerja dengan tenggat pendek: tanam, foto, lapor. Setelah itu hutan diserahkan kembali pada bagaimana alam membawa nasibnya. Alam tidak bekerja seperti itu. Ia mengingat semua kelalaian.

Magetan memiliki modal yang sama: lahan, pengetahuan lokal, dan masyarakat yang hidup dekat dengan alam. Magetan butuh keberanian pemangku kebijakan untuk memulihkan lereng Lawu dengan pendekatan ilmiah, memadukan kehutanan dan pangan, serta menahan diri dari alih fungsi yang serba cepat.

Dan saya kembali teringat pesan di bawah Jati Mega:

hutan yang tegak bukan hanya keteduhan, ia adalah ketahanan.

Kebijakan yang berani bukan yang paling cepat terlihat, tetapi yang paling lama menopang kehidupan.

Wanagama adalah bukti bahwa pemulihan ekologis mungkin. Tetapi ia juga peringatan: tanpa keberlanjutan kebijakan dan tangan-tangan yang merawat, sejarah besar bisa menyusut menjadi catatan pinggir. Hutan bisa tumbuh kembali; yang sulit tumbuh adalah kemauan politik untuk merawatnya.

Dan mungkin, di situlah ujian kita yang sebenarnya.

Wanagama sudah menunjukkan jalannya. Magetan tinggal memilih:

memulihkan hulu hari ini, atau membayar bencana esok hari.*

*Ditulis oleh Diana AV Sasa, Pendiri Perpustakaan Dbuku, sedang menempuh S2 Ketahanan Nasional UGM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

spot_img
spot_img

Popular Categories