Sabtu, 11 Oktober 2025

Menggeser Paradigma Pertambangan dari Korporasi ke Sistem Rakyat, Demi Kesejahteraan dan Keadilan Bersama

KABUPATEN Magetan, dengan kekayaan pasir dan kerikil di tepian Bengawan Solo, menghadapi dilema klasik: pertambangan sebagai motor ekonomi atau ancaman lingkungan? Insiden longsor di Desa Trosono pada 27 September 2025, yang menewaskan tiga orang dan merusak 10 hektar lahan pertanian, menjadi pengingat pahit akan dampak buruk pertambangan skala besar oleh CV/PT. Berdasarkan perbandingan sistem pertambangan rakyat (IPR/SIPB) dan pertambangan korporasi (IUP) di Magetan, opini ini menegaskan bahwa beralih ke sistem pertambangan rakyat adalah langkah strategis untuk memastikan kesejahteraan masyarakat, keadilan bagi pemilik lahan, dan keberlanjutan lingkungan. Dengan regulasi yang mendukung seperti UU No. 3/2020 dan PerGub Jatim No. 62/2010, pertambangan rakyat menawarkan solusi yang lebih adil dan terkendali dibandingkan pendekatan korporasi yang kerap bermasalah.

Kesejahteraan Masyarakat: Rakyat sebagai Pusat Ekonomi

Sistem pertambangan rakyat di Magetan, seperti diusulkan di Desa Trosono, menyerap 25 pekerja local/Tambang dengan gaji Rp 2,2 juta/bulan, di atas UMR Magetan (Rp 2 juta), dan berkontribusi pada PDRB sebesar Rp 500 juta/tahun. Keterlibatan langsung 12 anggota kelompok tani dalam operasional menjamin manfaat ekonomi mengalir ke warga lokal, bukan ke perusahaan luar. Pelatihan keselamatan anti-longsor (5 hari/tahun) juga meningkatkan kapasitas masyarakat, menciptakan efek multiplier seperti dukungan UMKM lokal. Sebaliknya, CV/PT sering mempekerjakan tenaga luar, dengan laba terkonsentrasi pada pemilik korporasi. Kasus galian C ilegal di Magetan (2024-2025) menunjukkan bagaimana IUP gagal menyerap tenaga kerja lokal dan malah memicu kerusakan lingkungan, seperti longsor Trosono, yang merugikan petani lokal.

Namun, IPR bukan tanpa tantangan. Skala kecil membatasi jumlah pekerja (hanya 15 dari 800 jiwa di Trosono) dan berisiko ketidakstabilan pendapatan jika permintaan pasir turun. Ketergantungan pada KUR (25% pembiayaan) juga bisa membebani kelompok jika laba tidak sesuai harapan. Meski demikian, transparansi pengelolaan dan pengawasan desa memastikan manfaat lebih merata dibandingkan IUP, yang kerap menggelapkan pajak (estimasi kerugian Rp 500 juta di Magetan 2024) dan minim kontribusi lokal.

Keadilan Pemilik Lahan: Transparansi vs. Eksploitasi

Pertambangan rakyat menawarkan keadilan yang lebih nyata bagi pemilik lahan. Kompensasi sewa lahan Rp 15 juta untuk 2,5 Ha di Trosono disepakati secara transparan melalui musyawarah desa, dengan reklamasi wajib (penanaman vetiver) yang mengembalikan lahan produktif dalam setahun. Pemilik lahan juga dilibatkan dalam pengawasan, memberikan rasa kontrol dan keadilan. Sebaliknya, CV/PT sering mengabaikan konsultasi publik, seperti terlihat pada sengketa lahan di Parang (2024), di mana pemilik lahan kehilangan hak atas lahan tanpa kompensasi memadai. Reklamasi oleh CV/PT jarang dilakukan, meninggalkan lahan kritis, seperti di Parang, yang merugikan pemilik secara permanen.

Kelemahan IPR adalah kompensasi yang relatif rendah (Rp 6 juta/Ha) dibandingkan IUP (Rp 50-100 juta/Ha), yang dapat memicu ketidakpuasan. Namun, risiko longsor dan konflik jauh lebih rendah pada IPR karena skala kecil dan mitigasi ketat (terasering, kedalaman galian maksimal 1,5 m). CV/PT, dengan alat berat dan galian hingga 5 m, justru memperburuk kerusakan lahan, seperti terlihat pada longsor Trosono 2025.

Pajak dan Transparansi: Kontrol Lokal vs. Penggelapan Korporasi

Pajak dari IPR di Magetan (Rp 80 juta/tahun untuk 4.000 m³) mudah dikontrol karena skala kecil dan pelaporan melalui desa serta Satgas Tambang. Ini memastikan pendapatan asli daerah (PAD) langsung mendukung pembangunan lokal, seperti infrastruktur jalan di Parang. Sebaliknya, IUP menghasilkan pajak besar (Rp 200 juta-Rp 1 miliar/tahun), tetapi penggelapan pajak, seperti kasus underreporting produksi di Magetan 2024, merugikan PAD hingga Rp 500 juta. Minimnya pengawasan pada CV/PT memungkinkan manipulasi laporan, sedangkan IPR diawasi ketat oleh komunitas lokal, meminimalkan pelanggaran.

Lingkungan dan Keberlanjutan: Skala Kecil, Dampak Terkendali

Longsor Trosono 2025, yang dipicu galian berlebihan oleh CV/PT, menegaskan urgensi beralih ke IPR. Sistem rakyat menggunakan metode manual (beko, truk 5 ton), dengan kedalaman galian maksimal 1,5 m dan mitigasi seperti tanggul terasering serta penanaman vetiver, sesuai PerGub Jatim No.

62/2010. UKL-UPL sederhana memastikan kepatuhan lingkungan, dengan monitoring bulanan oleh Satgas Tambang. Sebaliknya, CV/PT dengan alat berat dan AMDAL yang sering dipalsukan menyebabkan erosi, polusi debu, dan kerusakan permanen. Dari 15 IUP yang dicabut di Magetan 2025, mayoritas gagal reklamasi, meninggalkan lahan kritis.

Tantangan Menuju Sistem Rakyat

Meskipun unggul dalam keadilan dan keberlanjutan, IPR menghadapi kendala teknis dan finansial. Kapasitas teknis terbatas dan ketergantungan KUR membutuhkan dukungan pemerintah, seperti pelatihan dari Dinas ESDM Jatim dan fasilitasi pembiayaan. Selain itu, moratorium izin CV/PT di Magetan sejak 2025 harus diimbangi dengan percepatan perizinan IPR melalui OSS untuk mendorong adopsi sistem rakyat.

Kesimpulan dan Seruan Aksi

Pertambangan rakyat adalah jalan menuju kesejahteraan dan keadilan bersama di Magetan. Dengan skala kecil, transparansi pajak, keterlibatan masyarakat, dan mitigasi lingkungan yang ketat, IPR mengatasi kegagalan CV/PT yang ditandai longsor, konflik lahan, dan penggelapan pajak. Untuk menggeser paradigma, pemerintah Magetan harus:

  1. Percepat Perizinan IPR: Sederhanakan proses OSS untuk kelompok rakyat, targetkan penerbitan SIPB dalam 30 hari.
  2. Tingkatkan Kapasitas: Adakan pelatihan teknis dan keselamatan rutin bagi kelompok IPR.
  3. Perketat Pengawasan CV/PT: Audit pajak dan reklamasi IUP untuk hentikan pelanggaran.
  4. Fasilitasi Keadilan Lahan: Wajibkan konsultasi publik dan kompensasi adil untuk pemilik lahan.

Dengan langkah ini, Magetan dapat menjadikan pertambangan rakyat sebagai model pemberdayaan, menjauh dari eksploitasi korporasi menuju masa depan yang berkelanjutan dan adil. Longsor Trosono bukan lagi sekadar tragedi, tetapi panggilan untuk perubahan paradigma.*

*Ditulis oleh: Rudi Setyawan, Koordinator Fourm Rumah Kita

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkait

Hot this week

spot_img

Berita Terbaru

spot_img

Popular Categories