Kamis, 1 Mei 2025

Jabatan Guru Besar

SAAT ini lagi ramai di media mainstream dan medsos,terkait berita pengajuan jabatan guru besar atau profesor dari salah satu petinggi negeri ini. Menjadi ramai, karena profesi utamanya memang bukan dosen. Sedang kita tahu semua, guru besar itu adalah jabatan fungsional dosen tertinggi di perguruan tinggi.

Untuk mencapai jabatan profesor banyak syarat yang harus dipenuhi. Dan syarat itu kalau diterapkan secara prosedur, tentu tidak ringan. Namun bagi dosen yang memiliki kemampuan tentu bisa dicapai. Dan jabatan profesor yang bisa diraih dan kemudian disandangnya, bisa dipertanggungjawabkan di masyarakat ilmiah.     

Jabatan profesor tentu menjadi cita-cita setiap dosen. Sama dengan yang berprofesi di militer, apalagi lulusan akademi militer tentu puncak cita-citanya bisa mencapi jenderal. Untuk mencapai pangkat jenderal tentu tidak mudah. Selain jabatan jenderal terbatas, persaingan tentu sangat ketat.

Dulu waktu saya masih kuliah, sempat terpikir setelah lulus bisa menjadi dosen. Apalagi waktu itu masih sangat banyak dibutuhkan dosen diperbagai perguruan tinggi negeri utamanya di luar Jawa. Demikian juga perguruan tinggi negeri dan swasta di Jawa yang berkualitas juga masih banyak membutuhkan. Memang waktu itu untuk lulus menjadi sarjana masih cukup sulit.

Takdir kemudian berkata lain. Selesai kuliah di UGM Yogyakarta, saya terus bekerja di Surabaya. Bukan menjadi dosen. Tapi pernah terpikir untuk keluar dari PNS pindah menjadi dosen. Cita-cita untuk menjadi dosen walaupun bukan profesi utama, tidak pernah pudar. Apalagi di Surabaya banyak perguruan tinggi negeri dan swasta yang berkualitas.

Memang waktu itu relatif sangat mudah masuk menjadi PNS. Malahan ada formasi pengganti pensiun segala. Kalau orang tuanya pensiun bisa digantikan anaknya atau saudaranya. Lucu memang kalau dilihat dari kacamata sekarang. Tentu kita bisa bayangkan kualitas yang masuk menjadi PNS dengan rekrutmen model seperti itu.

Justru melihat kondisi seperti itulah, kemudian muncul gagasan dan kompensasi positif saya. Karena saya tidak memiliki siapa-siapa maka salah satu caranya harus dikenal. Cara mengenalkan diri dengan elegan adalah salah satunya menulis. Ya menulis di kolom atau rubrik media cetak. Utamanya harian. Karena sarapan pejabat ketika itu adalah koran pagi.

Pertama menulis tentu tidak langsung diterima. Namun dari kesalahan itulah bisa belajar dari kekurangan. Terus menulis. Jangan menyerah. Itulah kalimat yang selalu saya pegang. Akhirnya sekitar awal 1986 tulisan saya mulai dimuat sebuah harian pagi di Surabaya. Sudah tentu mencantumkan nama saya serta staf dimana bekerja.

Pagi-pagi masuk kantor saya sudah dipanggil pimpinan. Karena habis membaca tulisan saya di koran pagi. Intinya ikut senang dan bangga tulisan saya dimuat di media. Dari peristiwa itu, akibatnya hampir semua pekerjaan yang berkaitan dengan tulis menulis sudah hampir pasti diserahkan kepada saya. Bahkan tugas membuat makalah, presentasi juga diserahkan kepada saya.

Karena pimpinan saya juga Ketua Yayasan Pendidikan Wartawan Jawa Timur (menaungi perguruan tinggi dan beberapa pendidikan menengah) merangkap Direktur Sekolah Tinggi Kumunikasi AWS (Stikosa) Surabaya, kok akhirnya saya juga diminta mengajar sebagai dosen jurnalistik. Mata kuliah yang saya ampu “sistem pers Indonesia’ dan “hukum media.” Yang lucu waktu itu saya bukan sarjana hukum. Alasan itulah kemudian, sambil ngajar saya juga kuliah di fakultas hukum.

Diberikan kesempatan mengajar oleh pimpinan, malahan dijadikan dosen tetap saya laksanakan dengan baik. Kesenangan membaca, menulis dan membeli buku memang mendekatkan profesi dosen yang memang dituntut selalu update ilmu melalui buku. Juga kewajiban untuk menulis. Kesempatan semakin terbuka, karena saya sebagai seorang PNS baru di kantor pemerintahan. Jam kerjanya mulai jam 07.00 dan pulang kantor jam 15.00. Masih banyak waktu yang bisa saya digunakan. Apalagi waktu itu saya masih sangat muda.

Setelah memberi kuliah beberapa saat, sekaligus menulis di media akhirnya semakin banyak dikenal dikalangan perguruan tinggi. Tawaran mengajar berdatangan. Apalagi waktu itu mata kuliah yang saya ampu sangat sedikit dosen yang memiliki latar belakang keilmuan di bidang itu.

Akhirnya selain mengajar di Stikosa AWS Surabaya yang alumninya banyak memegang jabatan di media massa, saya juga mengajar di Universitas Dr. Sutomo Surabaya. Dan kalau hari Jumat, habis jam kantor saya harus ke Malang mengajar di Universitas Muhammadiyah dan Universitas Merdeka.

Jadinya satu minggu saya harus mengajar di empat unversitas sekaligus. Juga kalau malam saya juga harus kuliah di fakultas hukum. Karena masih muda dan profesi itu memang menjadi passion saya, rasa lelah hampir tidak saya rasakan. Apalagi saya juga harus ikut meringankan beban orang tua untuk membiayai adik-adik saya meneruskan kuliah.

Selesai menempuh sarjana hukum tahun 1994, atas ijin pimpinan, saya melanjutkan ke pascasarjana ilmu politik Unair. Karena kuliah pagi, dan waktu itu saya sudah menjabat kepala bidang (eselon III) harus pandai membagi waktu. Tanggung jawab sebagai pimpinan, maka saya dituntut untuk tuntas menyelesaikan pekerjaan dan membina staf. Pagi-pagi sebelum jam kerja, saya sudah datang di kantor, menyelesaikan pekerjaan. Kemudian jam 08.30 ke kampus Unair untuk kuliah. Selesai kuliah jam 12.30 saya balik ke kantor.

Selesai menyelesaikan pekerjaan kantor, saya langsung mengajar. Karena tugas saya mengajar sore dan malam hari, jadi waktu bisa saya atur. Tentunya, agar waktu saya ngajar dan kuliah tetap bisa berjalan. Untuk meringankan beban, akhirnya saya putuskan di Surabaya hanya mengajar di Stikosa AWS, karena saya memang menjadi dosen tetap.

Setelah menyelesaikan pascasarjana di Unair, saya malahan diberikan tugas tambahan menjadi Direktur Stikosa AWS. Tentu tugas yang tidak ringan. Satu periode sebagai direktur, saya diangkat sebagai Kapala Dinas Infokom Jatim. Kesibukan sebagai kepala dinas, apalagi sebagai juru bicara Pemda Jatim tentu sangat menyita waktu. Akhirnya saya oleh yayasan diminta masuk dalam jajaran pengurus. Mengajar di dua universitas Malang akhirnya harus saya lepas. Waktu yang tidak memungkinkan. Namun saya tetap mengajar di Stikosa AWS.       

Keinginan untuk terus menuntut ilmu, tidak pernah padam. Kebetulan di Unibraw telah dibuka program doktor ilmu administrasi untuk kelas akhir pekan. Jadi kuliahnya Jumat sore-malam, kemudian disambung Sabtu dan Minggu. Atas seijin Gubernur Jatim waktu Pak Imam Utomo saya meneruskan ke program doktor (S3). Kebetulan waktu itu di setiap dinas provinsi Jatim ada jabatan wakil kepala dinas. Jadi kalau akhir pekan tanggung jawab saya serahkan kepada wakil saya.

Kegagalan saya untuk bisa kuliah di luar negeri, memacu saya untuk terus menuntut ilmu di dalam negeri. Dan kegagalan saya untuk kuliah di luar negeri bukan karena kemampuan saya, tapi waktu itu kentalnya KKN. Hasil test saya sudah menduduki ranking dua. Namun yang berangkat justru rankingnya yang jauh di bawah saya. Oleh sebab itu sumpah saya untuk tetap menuntut ilmu walau di dalam negeri. Dan kalau suatu saat menjabat, saya tidak boleh memperlakukan staf seperti itu. Dan itu saya pegang teguh sampai puncak karier saya di kementerian.

Tiga tahun sebagai kepala dinas, dan kuliah S3 sudah sampai penyusunan disertasi tahun 2005 saya diminta Menkominfo Sofyan A Djalil untuk membantu beliau sebagai Kepala Badan Informasi Publik/Dirjen Informasi Publik di Jakarta. Empat belas tahun di Jakarta, saya juga tetap mengajar di Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Tarumanegara Jakarta. Sesibuk apapun. Mengajar dan menulis memang sudah menjadi panggilan hidup saya.

Bahkan oleh salah satu perguruan tinggi tersebut saya diminta untuk diajukan sebagai guru besar. Kebetulan waktu itu saya sudah selesai S3. Dan guru besar bidang komunikasi ditunjang pengalaman saya bekerja bidang komunikasi dan menjadi salah satu pejabat tinggi di Kementerian dianggap sangat memadai. Apalagi syarat pengangkatan menjadi guru besar belum seketat sekarang.

Dengan halus saya menolak. Sejak menjadi dosen tetap saya memang tidak mau mengurus kenaikan pangkat saya. Salah satu pertimbangan saya karena profesi tetap saya bukan dosen. Selama ini pekerjaan tetap saya di birokrasi pemerintahan, bukan dosen. Kalau saya kemudian diangkat menjadi guru besar, menurut hemat saya tentu kurang tepat, walaupun syarat-syarat memenuhi.

Dan kemudian yang juga saya khwatirkan, kalau saya bersedia apakah itu etis dan justru tidak menciderai profesi dosen!!! (*)

*Ditulis oleh: Suprawoto, Bupati Magetan 2018-2023

Berita Terkait

Hot this week

spot_img

Berita Terbaru

spot_img

Popular Categories