Kamis, 27 Maret 2025

Kepala Daerah Tersandera

DALAM tata pemerintahan, kita pernah mencoba berbagai model pemilihan dan pertanggungjawaban. Sampai dengan sistem pemerintahan daerah kita juga demikian. Mulai jaman Orla dengan model presidensil, parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi era reformasi dengan segala turunannya di sistem pemerintahan daerah.

Dengan UUD yang sama, kita pernah menganut sistem parlementer. Demikian juga sistem pemerintahan daerah kita juga demikian. Pada awal pemerintahan kita pernah mendasarkan pemerintahan daerah kita berdasarkan UU: 22 tahun 1948. Dalam pemerintahan daerah kita di tingkat kabupaten ada Kepala Daerah (KD), Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan juga  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

KD dipilih oleh DPRD dari sekurang-kurangnya dua orang calon dan sebanyak-banyaknya empat orang calon. Dari yang diusulkan itu kemudian, untuk kepala daerah tingkat provinsi diusulkan ke pemerinath pusat dan kemudian diangkat oleh presiden. Sedang untuk kepala daerah tingkat kabupaten/kota diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.

KD karena kedudukannya juga sebagai ketua DPD. Sedang DPD terdiri dari anggota DPRD yang dipilih dari perimbangan kekuatan partai politik yang ada di DPRD. Praktik yang sudah pernah berjalan, anggota DPD berjumlah lima orang anggota. Dan DPD tugas dan kewenangannya menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.

Sebagaimana sistem parlementer yang pernah kita alami, kabinet parlementer yang pernah ada umurnya sangat pendek. Jatuh bangun kabinet sering sekali terjadi. Pemerintahan jadi tidak stabil. Setiap kabinet disandera oleh partai. Setiap kebijakan yang dirasa kurang dapat diterima, partai akan menggalang kekuatan di parlemen untuk mengajukan mosi. Dan akhirnya kabinet jatuh.

Demikian juga yang terjadi di sitem pemerintahan daerah kita waktu itu. Kita pernah mengalami hal yang sama. Anggota DPD seringkali berganti, karena partai menarik anggotanya yang duduk di DPD. Dan akhirnya pemerintahan di daerah juga menjadi tidak stabil. Sering terjadi pergantian anggota DPD, dan pada akhirnya jalannya pemerintahan dan pembangunan menjadi tidak lancar.

Kondisi ini juga dialami oleh negara bagian ketika Indonesia (karena politik Belanda yang ingin menguasai kembali) masih terdiri dari negara bagian. Sistem pemerintahan daerah di negara bagian waitu itu yang dibangun juga sama dengan RI. Dan memang UU negara bagian yang ada waktu itu mencontoh UU No: 22 tahun 1948 milik RI. Di Negara Indonesia Timur sebagai contohnya, anggota DPD juga sering berganti. Demikian juga ketika UU pemerintahan daerah beberapa kali diganti yang baru, sistem yang dianut tetap hampir sama.

Orde Baru lahir. Menganggap sistem terdahulu kurang baik. Oleh sebab itulah Orba politik yang dianut stabilitas menjadi panglima. Pemerintahan harus stabil. Tidak boleh sering terjadi pergantian kabinet. Maka langkah yang diambil, partai politik disederhanakan. Hanya ada tiga partai politik.

Partisipasi politik rakyat ditekan sedemikian rupa. Beda pendapat saja haram hukumnya. Yang dianut model floating mass atau masa mengambang. Struktur partai hanya boleh sampai di tingkat kabupaten. Rakyat hanya boleh berpolitik lima tahun sekali dalam pemilu.

Dan pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali sudah bisa ditebak partai apa yang bakal menang. Mesin pemerintah mulai dari pusat sampai daerah digerakkan untuk mensukseskannya. Bahkan kondite seorang pimpinan, baik sipil maupun militer bahkan kepala daerah hanya diukur dari satu variabel, berapa persen suara partai pemerintah. Oleh sebab itu dulu tidak perlu ada quick count. Karena sudah pasti siapa yang bakal jadi pemenangnya. Bahkan siapa presidennya saja sudah tahu akan siapa yang dipilih. Yang justru biasa menjadi teka-teki adalah, siapa yang bakal dipilih mendapingi Pak Harto sebagai wakil.

Demikian juga undang-undang pemerintahan daerah yang kemudian disusun dan didesain sedemikian rupa, untuk dapat menjamin stabilitas mulai dari Sabang sampai Merauke. Maka pemerintah Orba menetapkan UU No: 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini berlangsung dan berlaku sangat lama, selama pemerintahan Orba berkuasa. Jangan heran kalau kemudian sangat lekat dalam ingatan kita.

Dulu di parlemen mulai dari pusat sampai daerah, selain anggota dewan yang dipilih juga ada anggota dewan dari fraksi ABRI. Justru fraksi ini yang memegang kunci mulai dari pusat sampai daerah. Demikian juga di DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang menentukan kepala daerah hampir dapat dipastikan dari fraksi ini. Setiap yang diusung fraksi ABRI semua partai lainnya pasti ikut.

Mekanismenya, DPRD melalui musyawarah dan mufakat fraksi-fraksi mencalonkan siapa yang akan diusung. Biasanya satu calon jadi, sedang lainnya sebagai pendaping. Yang diusulkan oleh DPRD maksimal lima calon dan paling sedikit tiga calon. Calon tersebut kemudian diusulkan kepada Mendagri melalui gubernur untuk bupati/walikota. Sedang untuk gubernur diusulkan ke presiden melalui Mendagri.

Dan Presiden maupun Mendagri tidak tergantung jumlah suara yang diperoleh ketika pemilihan di DPRD. Bisa saja Presiden maupun Mendagri memilih yang suaranya lebih rendah. Pernah terjadi kasus di Riau. Waktu itu Imam Munandar sebagai gubernur incumbent dicalonkan lagi untuk periode berikutnya. Tentu sesuai mekanisme dilakukan pemilihan di DPRD Riau.

Ada tiga calon gubernur  yang ikut pemilihan waktu itu. Sebagai calon jadi tentu Imam Munandar seorang mantan jenderal AD. Sedang sebagai pendamping, Ismail Suko, dan Abd Rachman Hamid. Waktu dilakukan pemungutan, diperoleh suara masing-masing, Imam Munadar 17 suara, Ismail Suko 19 suara dan Abd Rachman Hamid mendapat 1 suara. Tentu saja jagad politik Orba menjadi gempar. Dan tentu baru kali ini selama pemerintahan Orba terjadi.

Agar tidak kehilangan muka, segala usaha dilakukan. Tentu penguasa Orba yang demikian kuat sangat mudah saja menyelesaikan masalah ini. Apalagi Ismail Suka adalah PNS dan menjabat sebagai Sekretaris DPRD. oleh sebab itu sebagai kader Golkar, akhirnya Ismail Suko diminta mengundurkan diri dari pencalonan. Dan surat pengunduran diri pencalonanannya langsung diserahkan kepada Ketua Golkar Sudharmono.

Begitu kuatnya pemerintah pusat dalam menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah, menjadikan kepala daerah sangat loyal kepada pusat. Oleh sebab itu jangan heran kalau kepala daerah di masa Orba loyalitasnya kepada pemerintah pusat, bukan kepada rakyat di daerah. Dengan kata lain, kepala daerah dulu disandera oleh pusat. Segala arahan dan kepentingan pusat harus menjadi pertimbangan pertama.

Selain pemerintah pusat yang demikian menentukan, juga seperti ada konvensi yang tidak tertulis. Untuk daerah tertentu kepala daerahnya sering dari ABRI. Bahkan untuk jabatan gubernur hampir semua adalah jabatan untuk ABRI. Hanya daerah tertentu yang tidak dijabat oleh ABRI, seperti Aceh. Bahkan kabupaten/kota juga wilayah tertentu selalu kepala daerahnya dari ABRI.

Sebagai contoh di Jatim untuk walikota Surabaya, Malang beberapa kali dari AD. Untuk kabupaten Bangkalan beberapa kali dari AL karena ada pangkalan AL. Sidoarjo beberapa kali dari Polri. Bahkan dulu Magetan juga pernah beberapa kali bupatinya dari TNI AU, karena ada Pangkalan TNI AU Iswahyudi. Demikian juga di wilayah lain. Karena pertimbangan keamanan dan stabilitas itulah di masa Orba kebijakan itu kemudian diambil.

Ketika reformasi lahir, kebijakan Orba sat itu tentu dianggap sangat tidak demokratis. Oleh sebab itulah lahir UU N; 22 tahun 1999 yang demikian menjungkir balikan model Orba. Pemilu kemudian dilaksanakan jurdil. Pemilihan kepala daerah diubah. Kepala daerah kemudian diusulkan, dipilih dan diberhentikan oleh DPRD. Dan kepala daerah juga bertanggung jawab kepada DPRD. Demikian besar kekuasaan DPRD waktu itu.

Ada adagium, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” atau kekuasaan itu cenderung korupsi, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Dan betul terbukti. Demikian besar kekuasaan DPRD waktu itu, akhirnya penyimpangan dan korupsi massif berada di DPRD. Mulai dari menentukan siapa kepala daerah dan mati hidupnya kepala daerah ada di DPRD ibaratnya. Akhirnya kepala daerah disandera oleh DPRD.

Dan kemudian diubahlah cara memilih kepala daerah. Tidak lagi dipilih dan diberhentikan oleh DPRD, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Harapannya waktu itu adalah kalau dulu calon kepala daerah harus bernegoisasi dengan partai dan anggota DPRD kalau ingin menjadi kepala daerah, dan itu memerlukan biaya sangat mahal. Dengan dipilih langsung rakyat menurut teori itu tidak akan terjadi, karena jumlah pemilih yang demikian banyak.

Ternyata keliru. Justru biaya pemilihan kepala daerah semakin lama semakin mahal. Dan dengan biaya yang demikian mahal akhirnya kepala daerah terpilih pasti akan tersandera oleh pemodal, tim sukses dan partai pengusung. Jangan heran kalau kepala daerah terpilih yang dipikirkan pertama bukan program untuk kamajuan daerah tetapi bagaimana memenuhi para penyendera tersebut.

Tak berlebihan kalau kemudian banyak pengamat mengatakan pilkada semakin lama tidak semakin baik dan demokratis, tapi justru sebaliknya. Bahkan Prof Mahfud MD mengatakan pilkada kali ini selain mahal juga jorok. Tak heran kalau Presiden Prabowo kemudian mengusulkan agar pilkada dilaksanakan tidak langsung.

Perbaikan itu memang sangat diperlukan. Tetapi untuk memperbaikinya, tentu kita tidak boleh gegabah. Karena semua model kita pernah mencobanya. Sebenarnya yang diperlukan di negeri ini menurut hemat saya adalah penegakan hukum. Kalau aturannya ditegakkan, sebenarnya sistem sekarang sudah baik. Saya kemudian ingat usul KPK, selain ditegakkan hukum dan aturannya dalam pilkada juga partai dibiayai negara. Sehingga tidak ada alasan lagi pilkada dengan biaya sangat mahal.*    

*Ditulis oleh: SuprawotoBupati Magetan (2018-2023)

Berita Terkait

Hot this week

spot_img

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories