Publik seolah tidak percaya, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko yang selalu viral di Jagat Media Sosial terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. Sugiri Sancoko ditetapkan sebagai tersangka kasus jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Ponorogo.
Selain kasus pungutan liar dalam pembangunan RSUD yang bervolume anggaran 14 Miliar, dan Sugiri Sancoko mendapatkan jatah 10 % nya (Antara, 8 November 2025). Sugiri Sancoko sebagaimana kepala daerah yang terjerat OTT KPK atau telah menjadi terpidana korupsi benar benar mengabaikan amanah kepemimpinan yang seharusnya berintegritas.
Menjadi pemimpin daerah melalui mekanisme elektoral demokrasi, Pilkada Sugiri Sancoko seharusnya menjaga mandat masyarakat dengan menjadi pemimpin yang jujur dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Bukan atas dalih beban utang pembiayaan pilkada yang mahal, melakukan korupsi anggaran dan kebijakan. Sugiri Sancoko figur yang populis namun koruptif.
Praktek korupsi kepala daerah merupakan “kaca benggala” buruknya tata kelola anggaran daerah, tata kerja birokrasi dan demoralisasi kepemimpinan yang tidak berintegritas. Semenjak era reformasi memang banyak kepala daerah masuk bui karena korupsi. Korupsi di benarkan dengan alasan untuk membiayai kegiatan politik kepartaian dan basis konstituen.
Dalih yang dicari cari dengan menyalahkan sistem politik dan budaya politik pilkada. Korupsi untuk menutup beban politik uang.
Bukan hanya Sugiri Sancoko yang dicokot KPK. Gubernur Riau Abdul Wahid tanggal 3 November 2025 lebih dahulu diOTT KPK karena kasus pemerasan atas proyek pembangunan yang dilaksanakan dinas PUPR. Tertangkap di Cafe sedang Ngopi bersama Bupati Perempuan, Bupati Siak.
Moralitas pemimpin yang tidak menjaga kaidah moral. Justru membenarkan persepsi politik bahwa kepala daerah memiliki peluang dan memanfaatkan peluang untuk tindak pidana korupsi.
Korupsi kepala daerah sebenarnya bukan hal yang baru namun pewarisan nilai koruptif sejak era orde baru. Bedanya dahulu korupsi kepala daerah tidak ditindak hukum karena dilindungi kekuasaan, sedangkan saat ini korupsi kepala daerah akan mengalami penindakan dari Kejaksaan, dan KPK. Zaman berganti kepala daerah tetap koruptif namun sekarang relatif bisa ditindak dengan sanksi hukum.
Sebenarnya bukan hanya kepala daerah, para elite pejabat pemerintah pusat, elite penegak hukum dan jajaran menteri sejak era reformasi sering tersandung tindak pidana korupsi. KPK institusi penegakan hukum yang paling keras menindak para pejabat korup baik dari biroktrasi sipil, instirusi penegak hukum dan elite korporasi.
Tingkat korupsi kepala daerah tingkat kronisnya sering kali masih lebih rendah dibanding para elite pejabat di birokrasi pemerintahan pusat. Namun kepala daerah adalah simbol kepemimpinan yang harusnya jujur dan profesional.
Korupsi kepala daerah tidak hanya persoalan menutup utang ongkos politik pilkada, namun sudah menjadi aktivitas rente anggaran yang sistematis, tersetruktur dan massif yang aktornya birokrat dan politisi. Korupsi kepala daerah jelas terkategori korupsi karena motif keserakahan dan motif kebutuhan. Kepala daerah butuh “dana segar” untuk membiayai politik dukungan daii berbagai elemen dan sekaligus menyiapkan logistik untuk bertarung kembali dalam momentum electoral 2029.
Korupsi kepemimpinan politik—-kepala daerah—sebenarnya hanyalah puncak gunung es korupsi birokrasi. Birokrasi selama ini dikenal korup dengan berbagai modus operandi : Mark up perencanaan anggaran , menyunat volume anggaran, bermain fee/upeti proyek pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan, legalisasi ongkos perijinan investasi yang mahal, setoran dari hasil “efisiensi” anggaran yang dikelola Perangkat daerah, dan sebagainya, Birokrasi di daerah sebagaimana dipusat sebenarnya masih jauh dari kondisi akuntabel dan transparan.
Birokrasi menjadi “sumber” korupsi karena memiliki kekuasaan dari mulai perencanaan, implementasi dan evaluasi. Birokrasi adalah kelompok kepentingan yang mendominasi anggaran.
Untuk memungkasi korupsi kepala daerah dibutuhkan peran serta pengawasan berbasis masyarakat (the Community Based Monitoring). Pengawasan yang menjadi unsur antisipatif perilaku korupsi kepala daerah. Masyarakat jangan sampai permisif terhadap perilaku korupsi kepala daerah. Masyarakat harus resisten dan melawan praktek korupsi anggaran kepala daerah. Menjadi kontrol sosial yang terlembagakan dalam gerakan anti korupsi.
Menindak potensi atau kasus korupsi kepala daerah, harus benar benar berbasis data dan investigasi yang objektif. Kepala daerah yang koruptif mesti diberhentikan dan digantikan sosok yang lebih profesional dan sangat anti korupsi. Kepala daerah adalah pemimpin yang melayani dan bukannya pemimpin yang berkuasa untuk korupsi. *
*Ditulis oleh: Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian Demokrasi Deliberasi.





