TEPAT pada hari ini tanggal 20 Oktober 2024, kita semua menjadi saksi pergantian pemerintahan dari pasangan Jokowi-Amin ke Prabowo-Gibran. Sudah menjadi agenda lima tahunan, secara rutin setiap pergantian pemerintahan dilaksanakan setiap tanggal 20 Oktober. Sebuah tradisi keajegan pergantian pemerintahan yang landai.
Kita sudah sering diberikan pelajaran pahit, pergantian pemerintahan di negeri ini dengan penuh warna. Kita sering dihadapkan pergantian yang berjalan dengan penuh gejolak. Bahkan beberapa kali diiringi pertumpahan darah yang menelan banyak korban jiwa dan menimbulkan luka yang tentu akan sulit sembuhnya. Apalagi luka yang terjadi pada korban, maupun keluarga besarnya.
Lihat saja ketika pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Setahun sebelum 1965, tensi politik demikian tinggi. Dan tensi tinggi itu tidak hanya di pemeritahan pusat Jakarta, tetapi menjalar sampai daerah bahkan desa. Polarisasi politik demikian kerasnya.
Tidak hanya masyarakat sipil yang terjadi polarisasi. Birokrasi bahkan juga terjadi polarisi. Curiga mencurigai tumbuh dimana-mana. Isu Dewan Jenderal yang dihembuskan, kemudian menjadi legitimasi untuk bertindak sampai menculik dan membunuh para jenderal TNI AD pada peristiwa Lubang Buaya.
Rentetan peristiwa 1965 yang kemudian dinyatakan dan didalangi oleh PKI tersebut, mengakibatkan Presiden Sukarno harus menanggung tanggung jawab sebagai Presiden RI. Melalui Sidang Umum MPRS, Presiden Soekarno kedudukannya dicabut melalui TAP MPRS XXXIII Tahun 1967 tertanggal 12 Maret 1967 dengan tuduhan bahwa Presiden Soekarno telah mendukung G30S/PKI. Dan kemudian diangkatlah Suharto menjadi presiden.
Rentetan peristiwa berdarah 1965 dalam pergantian pemerintahan telah menelan banyak korban. Mulai pejabat tinggi, jenderal dan rakyat kecil. Perkiraan korban yang tewas saja, menurut disertasi Hermawan Sulistyo yang dipertahankan di Arizona State University USA dengan judul The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia’s Mass Slaughter yang diterjemahkan “Palu Arit di Ladang Tebu” diperkirakan korban tewas angka terkecil tidak kurang dari 78.000 orang terbunuh. Bahkan ada yang memperkirakan tidak kurang dari dua juta orang yang terbunuh. Namun para ahli sepakat, yang menjadi korban tewas berkisar sekitar 500.000-600.000 orang.
Presiden Suharto berkuasa lebih dari 30 tahun. Selama berkuasa, Suharto dianggap bertindak sangat otoriter. Turunnya presiden Suharto akibat krisis ekonomi yang disertai krisis politik, dan gerakan reformasi juga banyak menimbulkan luka yang dalam. Peristiwa, penculikan, penembakan dan pemerkosaan serta jatuhnya korban jiwa juga mewarnai dan menjadi catatan kelam turunnya Suharto dari tampuk pemerintahan yang telah dipegang sekian lama.
Pergantian pemerintahan tahun 1998 juga menimbulkan luka yang dalam. BJ Habibie selaku wakil presiden kemudian menggantikan Suharto yang menyatakan berhenti. Bahkan selain luka yang dalam menyertai lengsernya Suharto, rakyat Indonesia juga disuguhi hubungan yang kurang elok antara Suharto-Habibie yang kemudian tidak saling menyapa sampai akhir hayatnya.
Habibie berkuasa sangat singkat. Hanya setahun lebih lima bulan. Pada pada Sidang Istimewa MPR 13 November 1999, pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak MPR. Maka kepemimpinannya pun berakhir. Turunnya Habibie kemudian digantikan oleh Gus Dur sebagai presiden yang keempat.
Gus Dur juga hanya sebentar berkuasa, hanya sekitar satu tahun sembilan bulan. Tuduhan akan berbagai hal dialamatkan kepada Gus Dur. Dan pada akhirnya melalui Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais pada 23 Juli 2001, Gus Dur resmi dimakzulkan. Dan rakyat kembali disuguhi pergantian pemerintahan yang sangat tragis, ketika Gus Dur lengser.
Gusdur lengser, digantikan Megawati sebagai Presiden. Masa pemerintahan Megawati juga singkat, sekitar tiga tahun. Setelah selasai menjabat presiden, Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi mengikuti pilpres melawan SBY-JK. Ini merupakan pilpres langsung dipilih rakyat yang pertama. Pada akhirnya pilpres 2004 dimenangkan oleh pasangan SBY-JK. Namun sayangnya hubungan SBY dengan Megawati menjadi retak karena proses pilpres ini.
SBY menjabat presiden dua periode. Setelah selesai menjabat, digantikan pasangan Jokowi-JK yang diusung partai utama PDIP dan partai koalisi lainnya. Jokowi menjabat juga dua periode. Namun sayang, ketika diujung pemerintahannya hubungan Jokowi dengan partai pengusungnya menjadi retak yang diakibatkan proses pilpres yang akan menggantikannya.
Walaupun Jokowi kemudian retak hubungannya dengan partai pengusung, namun rakyat disuguhi pergantian pemerintahan yang relatif damai. Bahkan dalam kabinet Prabowo-Gibran masih banyak anggota kabinet Jokowi yang dipakai. Lepas dari yang pro dan kontra, mari kita beri waktu lima tahun pasangan Prabowo-Gibran untuk bekerja karena memang mereka berdua sudah menjadi pilihan rakyat kita. *
*Ditulis oleh: Suprawoto, Bupati Magetan (2018-2023). Sumbangan tulisan ini untuk, magetankita.com, Intijatim.id, Seputarjatim.co.id, dan Koran Jawa Pos Radar Magetan.