“Flight attendant landing position,
Ladies and gentleman, we have just landed at H.A.S. Hanandjoeddin International Airport at Tanjung Pandan, Belitung…”
Lega rasanya saat mendengarkan suara Captain Michael Arnold mengumumkan GA 282 segera mendarat di Belitung. Pesawat Bombardier CRJ 1000 buatan Kanada berkapasitas 96 orang itu mendarat mulus setelah menempuh 48 menit penerbangan dari Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta.
Selamat datang di Belitong, Negeri Laskar Pelangi!
Inilah salah satu dari ‘10 Bali Baru’ yang dicanangkan Jokowi sebagai destinasi tujuan wisata Indonesia mendampingi Pulau Dewata nan kondang ke seantero dunia.
Tak banyak yang mengenal Belitung sebagai kawasan wisata unggulan, sampai Andrea Hirata mempopulerkan novel tetralogi ‘Laskar Pelangi’ yang kemudian diangkat ke layar lebar pada 2008. Novel dan film inilah yang mengangkat nama Belitung, sehingga mata dunia pun tercelik akan keindahan pulau di lepas pantai timur Sumatera terapit Selat Gaspar dan Karimata.
“Kami sendiri tak nonton film itu, tapi tahu bahwa pada 2007 ada syuting di sini. Yang jelas, setelah itu keadaan berubah. Nelayan yang semula hanya fokus perikanan, berani mengubah orientasi mengembangkan sektor pariwisata. Misalnya menyewakan perahu keliling pulau atau membuka usaha kuliner, cinderamata dan lai-lain,” kata Wilky Wijaya, pengusaha jasa perjalanan pemilik ‘Belitung Tour’.
Padahal, sesungguhnya, Belitung bukanlah cerita baru kemarin. Pulau ini dulu dikenal sebagai ‘Biliton’, sementara penduduk setempat menyebutnya sebagai ‘Belitong’ yang artinya sejenis siput laut. Warga Melayu memang biasa menyebut huruf ‘u’ jadi ‘o’, sebagaimana ‘tanjung’ jadi ‘tanjong’.
Pulau ini terkenal sebagai penghasil lada putih, dan bahan tambang tipe galian-C seperti timah putih, pasir kuarsa, tanah liat putih (kaolin), dan granit. Awalnya, Belitung dimiliki oleh Inggris Raya (1812) sebelum ditukar kepada Belanda bersama-sama Bengkulu dengan Singapura dan New Amsterdam (bagian dari New York). Jadi, bayangkan betapa berharganya pulau ini. Sampai Singapura pun menjadi sandingannya sebagai alat tukar!
Hanya ada dua kabupaten di nusa berpopulasi tak sampai 300 ribu jiwa ini. Kabupaten Belitung (sering disebut sebagai ‘Belitung Induk’) dan Belitung Timur. Maka, hari pertama kami putuskan menjelajah Belitung Timur. Yang lebih jauh dulu lah. Jaraknya sekitar 1,5 jam dari Bandara H.A.S. Hanandjoeddin, lapangan terbang yang namanya diambil dari purnawirawan letnan kolonel, Bupati Belitung selama 5 tahun dari 1967 hingga 1972.
Maka, perjalanan diawali dengan sarapan pagi di Mie Atep. Ini mie tradisional amat kondang di pusat kota Tanjung Pandan. Letaknya tak jauh dari simpang lima Tugu Batu Satam, yang jadi ikon ibukota Kabupaten Belitung.
Konon, Batu Satam ditemukan di Belitung sebagai pecahan permukaan bumi yang terkena hantaman luar biasa kerasa dari meteorit yang jatuh dari luar angkasa. Batu satam ditemukan di antara batuan timah oleh penambang timah. Namanya diambil dari bahasa Tionghoa. ‘Sa’ artinya pasir dan ‘Tam’ artinya ‘empedu’.
Kembali ke Mie Atep di Jalan Sriwijaya, Kampung Parit. Katanya, belum ke Belitung kalau belum makan di Mie Atep. Buktinya, puluhan foto pesohor ada di sana. Dari Megawati sampai Tukul Arwana. Dari Andy Flores Noya hingga mendiang Bondan Winarno.
“Saya berjualan sejak umur 28 tahun. Kini ada lima cabang di Jakarta yang dikelola anak dan teman saya,” kata Nyonya Atep, yang membuka usahanya sejak 1973. Anak usahanya ada di Taman Ratu dan Citra Garden Jakarta Barat, Gading Serpong Tangerang, Mangga Besar dan Kelapa Gading serta Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara.
Yang khas di sini adalah setiap Anda makan mie rebus buatan Nyonya Atep – aduh, aroma dan rasanya tak bisa dijelaskan dengan deksripsi kata-kata – sajian itu dihidangkan di atas daun simpur. Tanaman bernama latin ‘dillena suffruticosa’ berdaun maha lebar ini hanya ada di daerah tertentu saja di Indonesia.
Dari SD Muhammadiyah sampai Kampung Fifi
Perjalanan menuju Belitung Timur alias Beltim pun dimulai. Kiri kanan terlihat perkebunan jati, sawit, karet dan tentu saja tambang. Timah adalah komoditas utama yang sempat membuat jaya dan jadi kebanggaan pulau ini, sampai memasuki senjakala akibat krisis industri timah di akhir 1980-an.
Logam tambang ini pula yang membuat penduduk Belitung tersegregasi antara pegawai PN Timah dan buruh rendahan sebagai petugas alih daya di perusahaan. Sebagaimana diceritakan Andrea Hirata di berbagai bukunya, dari ‘Laskar Pelangi’ sampai ‘Sirkus Pohon’. Anak pegawai terhormat sekolah di SD PN Timah, sementara anak buruh outsourcing mendaftar di SD Muhamamdiyah, yang tidak buka kelas kalau pendaftar murid barunya tak tembus 10 orang.
“Sekolah benerannya sudah ambruk dan kini jadi gedung permanen. Ini replikanya, yang dipakai syuting film dan serial televisi,” kata Maman Hisman, pengemudi murah senyum dan banyak cerita pendamping kami keliling Belitung.
Replika SD Muhammadiyah terletak di Desa Lenggang, Kecamatan Gantong, Belitung Timur. Untuk masuk kompleks SD berbukit pasir putih sisa penambangan timah ini, pengunjung cukup membayar Rp 5 ribu rupiah dengan karcis yang dibuat oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Lenggang Membangun. Wow, inilah bentuk kreativitas pengembangan Dana Desa!
Sepelemparan batu dari replika Sekolah Muhammadiyah tempat Ikal, Mahar, Harun, Lintang, dan teman-temannya bersekolah, ada destinasi lain yang dikenal sebagai ‘Dermaga Kirana’. Tiketnya sama, hanya Rp 5 ribu per orang.
Beltim masih menyisakan beberapa tujuan lagi. Salah satunya yakni ‘Museum Kata’ yang dibuat oleh Andrea Hirata sebagai penghormatan terhadap kampung halamannya. Berbudi luhur sekali si boi ini, sudah memperkenalkan Belitung ke seantero negeri lewat novel dan film, masih juga dia membangun museum sastra, yang biayanya didapat dari royalti serta hadiah atas berbagai apresiasi lomba untuk ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Sang Pemimpi’.
Berbagai poster film, buku juga pertandingan olahraga dari masa ke masa ada di sana. Ada pula kata-kata bijak yang sebagian ciptaannya.
“Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.”
“We give you the most beautiful thing in life: STORY”
demikian dua di antara untaian kalimat ciptaan Andrea dalam museum yang diresmikan Menteri Pariwisata Arief Yahya, 14 Maret 2018 itu.
Kampungnya Politisi
Beltim bolehlah kalah ramai dibandingkan Belitung Induk. Tapi, di Kabupaten Beltim-lah politik mengakar. Dua dinasti silih berganti bertempur di sini. Dinasti Tjahaja Purnama dan klan Ihza Mahendra.
Ahok. Tentu saja itulah yang fenomenal. Pria yang kini lebih suka disapa sebagai ‘BTP’ sesuai nama panjangnya Basuki Tjahaja Purnama itu menjadi Bupati Belitung Timur selama 1,5 tahun. Ahok berhenti dari jabatannya untuk mengadu peruntungan dalam Pilgub Bangka Belitung.
Di akhir masa jabatan pada 2010, Pilbup berlangsung dan dimenangkan Basuri Tjahaja Purnama, anak kedua almarhum Indra Tjahaja Purnama dan Buniarti Ningsih yang menjadi bupati meneruskan kakak sulungnya.
Namun, pada Pilgub 2015, Basuri gagal mempertahankan posisinya. Jabatan Bupati Beltim direbut Yuslih Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang (PBB), Yuslih merupakan anak ke-4 di antara 11 orang bersaudara, kakak kandung Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra dan mantan Dubes RI di Jepang Yusron Ihza Mahendra.
Karena Ahok sendiri tak mau disebut Ahok, maka signage kampung itu pun kini berubah jadi ‘Kampung Fifi’. Sesuai nama Fifi Lety Tjahaja Purnama, adiknya yang jadi pengacara di bilangan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.
Selain Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya, Ahok meninggalkan warisan yang bisa dibanggakan warga Belitung Timur. Dua orang yang mengubah wajah sebuah pulau dan membawa nusa ini dikenal begitu luas. Mimpi-mimpi besar mereka adalah kunci untuk menaklukkan dunia…(*)
*Ditulis oleh: Jojo Raharjo, Tenaga Ahli Madya Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden RI.