“Orang besar tidak mati, hanya pulang lebih awal.”— Serat Wedhatama, pupuh Pangkur
ADA banyak tempat untuk lari dari dunia, tapi hanya sedikit tempat yang dituju oleh orang-orang yang benar-benar ingin tinggal dalam keheningan. Gunung Lawu adalah salah satunya. Ia tidak hanya tinggi secara geografis, tapi juga dalam kesadaran kolektif spiritualitas Jawa. Tempat para raja menanggalkan kekuasaan. Tempat para resi mengasingkan diri. Tempat manusia menunda waktu.
Di antara kabut Lawu yang kerap turun tanpa aba-aba, berdirilah sebuah warung kecil. Tidak megah. Tidak ramai. Punya kekuatan yang tidak dimiliki rumah makan mana pun di tanah rendah. Warung itu menjelma semacam altar bagi para peziarah yang menyebut diri mereka pendaki. Di sanalah Mbok Yem tinggal. Sendiri. Lama. Sepi. Tapi penuh.
Perempuan tua ini tidak menyebut dirinya penjaga warung. Ia tidak mengenal istilah hospitality. Ia tidak punya slogan manajemen. Tapi setiap pendaki tahu: warung itu adalah tempat mereka merasa diterima. Hangat. Lapar pun jadi perkara kecil kalau tangan Mbok Yem sudah bergerak. Ia tidak banyak bicara. Tapi keberadaannya lebih menghibur daripada jutaan kutipan motivasi yang berseliweran di media sosial.
Pilihan tinggal di puncak Lawu, bagi Mbok Yem, bukan bentuk pelarian. Ia bukan perempuan yang kalah oleh hidup. Ia adalah orang yang selesai dengan hiruk pikuk, dan memilih mendengar dunia dari puncaknya. Jika banyak orang mengejar cahaya dari sorotan, Mbok Yem memilih nyala dari dalam tubuhnya sendiri. Ia adalah lilin yang membakar dirinya sendiri, agar orang lain bisa melihat jalan saat badai turun.
Lawu sendiri, dalam banyak naskah kuna, adalah ruang suci. Tempat Raja Brawijaya pamit dari gemerlap Majapahit dan memutuskan menyatu dengan semesta. Tempat para pertapa melebur dalam sunyi. Bahkan dalam pandangan masyarakat Bali, Lawu disebut sebagai Ibu Bumi—lambang perlindungan, penyubur kehidupan, dan pembuka jalan menuju alam niskala.
Di antara kisah-kisah besar itu, Mbok Yem hadir sebagai simpul yang tak pernah disebut dalam buku sejarah, tapi dirawat dalam ingatan setiap orang yang pernah naik gunung dan singgah padanya. Ia tidak membuat warung itu jadi tempat berjualan semata. Ia mengubahnya jadi rumah—yang tidak menanyakan siapa kamu, dari mana asalmu, dan sedang membawa luka sebesar apa.
Dan kini, Mbok Yem sudah turun gunung. Dengan tandu, tubuh rapuh, dan sisa-sisa napas yang pelan sekali. Ia meninggal di kampung halamannya, di Magetan. Usia 82 tahun. Setelah puluhan tahun menjaga sunyi di puncak, ia akhirnya pulang.
Kita sering mengira orang seperti Mbok Yem hanya hidup dalam dongeng. Tapi Lawu membantah itu. Ia memberi kita saksi nyata tentang kesetiaan, kesederhanaan, dan kekuatan batin yang tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan ditunjukkan dalam laku.
Tidak perlu tugu atau prasasti untuk mengenangnya. Kabut Lawu akan selalu membawa namanya. Angin gunung akan terus menuturkan kisahnya. Dan para pendaki yang singgah akan tetap mencari aroma pecel hangat yang dulu disajikan dari tangan yang penuh cinta.
Mbok Yem sudah pergi. Tapi warungnya tetap berdiri. Sunyi yang ia jaga belum bubar. Dan di sanalah, Lawu kembali jadi tempat para manusia belajar menjadi bumi. *
* Ditulis oleh: Diana Sasa, Content Creator, tinggal di Magetan