“Hidup dalam demokrasi seperti duduk di meja taruhan. Kadang menang, kadang kalah. Tapi sering kali kita sadar, kartunya sudah ditandai sebelum permainan dimulai.”
Magetan sedang patah hati. Pilkada serentak yang seharusnya menjadi pesta rakyat justru meninggalkan rasa masam di lidah banyak orang. Bukan soal siapa menang atau kalah. Ini tentang bagaimana demokrasi diolah menjadi sebentuk permainan licik. Suara rakyat adalah mata uang yang bisa dibeli murah. Hanya dengan amplop yang lusuh.
Pasangan Nanik-Suyatni, yang sekarang diarak sebagai pemenang, hanya meraup 33,88% suara. Angka ini, dalam bahasa politik, adalah kemenangan formal yang sebenarnya kekalahan moral. Di meja perhitungan, lebih dari separuh rakyat Magetan memilih jalan lain, atau bahkan tidak memilih sama sekali. Rakyat seperti berbicara dalam diam: “Kami ingin pemimpin, bukan sekadar pemenang.”
Tapi demokrasi, sebagaimana diatur dalam aturan bakunya, tidak peduli soal legitimasi moral. Siapa yang menang di TPS, dia yang dinobatkan. Dan hasil itulah yang kini disodorkan ke Mahkamah Konstitusi untuk dipertanyakan.
Ada yang terasa tergesa-gesa dalam pilkada ini. KPU menggelar pleno rekapitulasi suara seperti pelari jarak pendek yang harus segera sampai finish. Entah dikejar apa atau siapa. Di sisi lain, Bawaslu menerima laporan dugaan pelanggaran pemilu. Mulai dari hak pilih yang direbut hingga dugaan penggelembungan suara. Tapi laporan itu hanya berhenti di pintu, tidak pernah benar-benar masuk ke ruang register. Alasannya sederhana: tidak memenuhi syarat materiil.
Rakyat bertanya-tanya, ke mana harus mengadu? Demokrasi yang mereka anggap suci kini terasa seperti mesin tua yang sudah kehilangan pelumas. Politik uang bertebaran, mengubah TPS menjadi pasar malam yang ramai dengan transaksi gelap. Orang-orang menyebutnya “setan gundul pemilu.” Penjudi besar, uang panas, dan amplop-aplomp murah menjadi aktor utama yang diam-diam menari di belakang layar.
Jangan lupa, ada aparat dan birokrasi. Mereka adalah roh halus lain yang diam-diam menggiring arah angin. Ketika seharusnya netral, justru condong. Ketika seharusnya melayani, malah ikut bermain. Rakyat tahu itu, tapi apa daya mereka? Dalam demokrasi semu seperti ini, rakyat hanya penonton yang dipaksa membeli tiket paling murah untuk menonton drama yang sudah ketahuan akhirnya.
Pasangan Sujatno-Ida, yang kalah tipis, membawa gugatan mereka ke Mahkamah Konstitusi. Tapi MK tidak berbicara soal hati. MK bicara angka, bicara fakta hukum. Di sana, demokrasi yang sudah babak belur akan diputuskan sekali lagi, dengan harapan sisa keadilan masih bisa diperas dari sistem yang penuh persoalan.
Namun, ini bukan hanya soal Magetan. Ini adalah soal kita semua. Partai-partai politik perlu merenungkan apakah mereka benar-benar berpikir matang saat mengusung calon. Ataukah mereka hanya mengandalkan mesin politik tanpa peduli pada aspirasi rakyat? Partai sering lupa bahwa kandidat yang mereka usung bukan hanya wajah mereka, tetapi juga cerminan rasa hormat mereka pada rakyat.
Pilkada Magetan belum final. Bukan hanya karena menunggu putusan MK, tetapi juga karena luka yang ditinggalkannya. Demokrasi kita sakit. Pilkada ini mengingatkan kita bahwa suara rakyat adalah milik mereka, bukan milik amplop, bukan milik birokrasi, bukan milik para “setan gundul” yang merusak pesta rakyat.
Dan Magetan adalah cermin kecil Indonesia. Jika kita tidak segera berbenah, luka ini akan menjadi infeksi yang menyebar ke seluruh negeri. Demokrasi tidak akan mati dengan satu peluru, tetapi akan terkikis pelan-pelan oleh keserakahan, ketidakpedulian, dan pengkhianatan terhadap kehendak rakyat.
Rakyat Magetan berhak marah. Mereka berhak menginginkan lebih dari sekadar formalitas demokrasi. Mereka berhak mendapatkan pemimpin yang benar-benar lahir dari suara hati mereka. Dan jika suara hati itu diperdengarkan di MK, biarkan ia menggaung, melawan dinding-dinding tebal yang selama ini membungkam keadilan. *
*Ditulis oleh: Diana Sasa, mahasiswa pascasarjana Prodi Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada