MINGGU depan ini, tanggal 27 November 2024 masyarakat yang mempunyai hak memilih di 37 Provinsi dan 508 kabupaten/kota di Indonesia akan memilih pimpinan daerah masing-masing. Pilkada serentak itu untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang masa jabatannya habis tahun 20222, 2023, 2024 dan 2025. Dan selama pilkada serentak, pilkada kali ini merupakan pilkada yang terbesar karena diikuti seluruh provinsi di Indonesia.
Di Indonesia saat ini ada 38 provinsi, dengan total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Hanya DIY yang tidak menyelanggarakan pilkada karena memang satu-satunya daerah istimewa di Indonesia. Sebagai daerah istimewa karena faktor historis itulah, akhirnya sebagai kepala daerah adalah sultan dari Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan sebagai wakilnya adalah Sri Paku Alam. Sedang kabupaten/kota di lingkungan Provinsi DIY juga tetap dipilih secara langsung.
Untuk kabupaten/kota di tempat lainnya yang tidak akan dipilih dalam pilkada serentak sat ini adalah walikota di DKI serta Kabupaten Kepulauan Seribu. Walikota dan bupati di lingkungan DKI merupakan daerah administratif, sehingga sebagai kepala daerahnya tidak dipilih secara langsung, namun diangkat dari pejabat karier ASN.
Sedang di Jatim sendiri, pilkada serentak akan diikuti seluruh kabupaten/kota se Jatim dan ditambah pemilihan Gubernur. Tentu pilkada serentak ini yang bersamaan tahun dengan pilpres memiliki memiliki tujuan strategis yang memerlukan waktu perencanaan yang panjang sejak digagas.
Saya jadi masih ingat ketika masih di Jakarta dulu, karena pendidikan S3 saya Ilmu Administrasi Publik Unibraw pernah diminta mengajar mata kuliah Manajemen Perencanaan Pembangunan Fakultas Ilmu Administrasi di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Kritik saya waktu itu, dengan pilkada secara langsung membuat perencanaan pembangunan di Indonesia seperti hanya merupakan dokumen tumpukan kertas yang kurang berarti secara siginifikan.
Betapa tidak!!! Presiden dilantik tanggal 20 Oktober. Mungkin empat tahun, tiga tahun, dua tahun, atau satu tahun sebelumnya kepala daerahnya sudah dipilih lebih dulu. Tentu setiap kepala daerah yang sudah dipilih sudah membuat RPJMD yang dibuat untuk lima tahun pemerintahannya. Dan RPJMD itu kemudian diimplementasikan dalam APBD tahunannya.
Sedang kita semua tahu, bahwa visi, misi, janji kampanye kepala daerah waktu kampanye sesuai ketentuan menjadi visi, misi dalam RPJMD kepala daerah. La bagaimana mau nyambung dengan visi, misi presiden kalau kepala daerah dipilih dalam pilkada lebih dulu, dibandingkan dengan presiden yang belakangan. Kalau sudah demikian khan jadi nggak akan nyambung yang namanya rencana pembangunan yang disusun di setiap daerah dengan RPJMN. Kalau sudah demikian, pembangunan terasa berjalan sendiri-sendiri.
Lo waktu Pak Harto pilihan kepala daerahnya nggak serentak juga, tapi Repelita yang disusun Pak Harto setiap lima tahun kok bisa berjalan dan bisa ditaati kepala daerah. Jawabannya sederhana. Jaman Pak Harto sistem pemerintahan daerah yang dianut berbeda. Walaupun titik berat otonomi tetap sama sesuai UU No: 5 tahun 1974 titik berat juga diletakkan di daerah tingkat II (kabupaten/kota), namun otonomi yang dianut otonomi yang “nyata dan bertanggung jawab.” Dan tanggung jawabnya yang kemudian diminta lebih besar. Tidak luas seperti sekarang.
Dengan demikian sebagai konsekuensinnya, program-program pemerintah pusat jauh lebih besar (kalau tidak boleh dikatakan semuanya) dibandingkan program yang dilaksanakan pemerintah daerah melalui APBD-nya. Kita tentu masih ingat, begitu banyaknya aparat pusat yang ada di daerah. Mulai dari Kantor Departemen (Kandep) Transmigrasi, Kantor BKKBN, Kandep Penerangan, Kandep BPN, Kandep Tenaga Kerja, Kandep Pendidikan dan Kebudayaan, Kandep Kesehatan, Kandep Pertanian dll.
Sedang aparat pusat yang ada di provinsi dibentuk Kantor Wilayah (Kanwil). Maka di provinsi dibentuk Kanwil Transmigrasi, Kanwil BKKBN, Kanwil Penerangan, Kanwil BPN, Kanwil Tenaga Kerja, Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Kanwil Kesehatan, Kanwil Pertanian dll. Akibat yang terjadi, semua program pemerintah pusat kantor-kantor yang ada di daerah yang kemudian mengeksekusinya. Pimpinan daerah seolah-olah hanya hanya sebagai koordinator saja. Belum kepala daerahnya juga diangkat oleh pemerintah pusat, DPRD hanya mengusulkan saja.
Kewenangan DPRD hanya memilih diantara calon, kemudian DPRD mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk diangkat dan ditetapkan. Untuk bupati/walikota disulkan DPRD melalui gubernur dan diangkat oleh Menteri Dalam Negeri. Sedang untuk gubernur dipilih DPRD kemudian disulkan melalui Menteri Dalam Negeri dan diangkat oleh presiden.
Dan pemerintah pusat dalam mengangkat kepala daerah tidak tergantung kepada jumlah suara yang diperoleh dari calon yang diusulkan DPRD. Tergantung pemerintah pusat mau memilih siapa diantara yang diusulkan oleh DPRD. Pernah terjadi, yang dipilih pemerintah pusat bukan calon yang memperoleh suara terbanyak. Salah satu contoh yang terjadi di Provinsi Riau. H. Imam Munandar sebagai incumbent, dalam pemilihan gubernur oleh DPRD memperoleh 17 suara, sedang Ismail Suka mendapat 19 suara. Yang diangkat oleh pemerintah pusat justru H. Imam Munandar yang suaranya lebiah kecil.
Berbeda dengan sekarang, otonomi luas. Pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung sejak 2004. Kewenangan daerah menjadi jauh lebih besar. Bisa dilihat hampir semua program daerah yang mengeksekusi aparat sendiri yang berbentuk dinas. Aparat pusat yang kewenangannya sampai sekarang tidak diotonomikan hanya beberapa saja seperti agama, keamanan, keuangan dan beberapa kewenangan lainnya.
Demikian juga sumber keuangannya. Kalau jaman Orba, sumber keuangan daerah hanya kecil-kecil. Kebanyakan hanya retribusi dan pajak tertentu saja sebagai sumber keuangan andalannya. Maka tak heran daerah yang PAD-nya besar ketika itu diperoleh dari Pajak Pembangunan I atau pajak restoran. Daerah seperti Kabupaten Badung, Bali, DKI Jakarta, dan Surabaya PAD-nya besar dari pajak itu.
Sedang retribusi yang bisa digali biasanya seperti pasar, parkir, tempat wisata dll. Malahan yang lucu kalau dilihat dari kacamata sekarang, kewenangan menarik pajak/retribusi daerah diberikan pusat sebagai sumber keuangan. Atau nilai yang kecil-kecil. Salah satu diantaranya seperti hiasan kuburan, pajak anjing, sepeda dll. Maka dulu waktu saya kecil sering di jalan-jalan ada “cegatan” bagi yang naik sepeda untuk dillihat sudah dipasang tanda pembayaran (pajak tahunan sepeda dinamakan plombir atau peneng) pajaknya atau belum. Kalau belum, ditempat itu juga harus membayar/beli.
Saat ini sumber keuangan jauh lebih banyak dan besar dibandingkan dulu. Pemerintah dari diberikan keleluasaan yang lebih besar untuk menggalinya. Belum dana bagi hasil yang diperoleh baik dari provinsi dari dari pusat. Oleh sebab itu dengan PAD yang jauh lebih besar mnjadikan pengelolaannya lebih leluasa. Daerah bisa menentukan skala prioritas pembangunan masing-masing.
Dengan kewenangan daerah yang demikian besar, kalau kemudian pilkada tidak dilaksanakan serentak, wajar kalau kemudian pembangunan daerah akan berjalan sendiri-sendiri. Pilkada serentak merupakan salah satu cara mensinkronkan visi, misi, pembangunan mulai dari pusat sampai daerah.
Oleh sebab itu dengan kewenangan daerah yang demikian besar, maka kemajuan daerah sangat tergantung pada visi pimpinannya masing-masing. Kita bisa melihat ada daerah yang maju dan daerah yang lambat atau sangat lambat kemajuannya. Perbedaan kemajuan daerah saat ini, pasti karena visi pimpinan. Dan pimpinan daerah sekarang, yang memilih rakyat langsung.
Maka waktunya rakyat Indonesia memilih pimpinan daerahnya masing-masing. Dalam memilih sudah semestinya, lihat visi dan rekam jejaknya. Jangan hanya terbuai janji-janji yang sering tidak masuk akal dan kado yang memberi manfaat sesat. *
Sumbangan tulisan: Jawa Pos Radar, Magetankita.com, Intijatim.id, Seputarjatim.co.id.
*Ditulis oleh: Suprawoto, Bupati Magetan (2018-2023)