Magetan – Wakiyem, atau yang lebih dikenal dengan nama Mbok Yem, tutup usia Rabu siang (23/4) pukul 13.30 WIB di kediamannya, Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. sosok legendaris yang menjadi penjaga kehangatan para pendaki Gunung Lawu selama puluhan tahun itu, wafat dalam usia 82 tahun.
Kepergian Mbok Yem menyisakan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi ribuan pendaki yang pernah singgah dan merasakan hangatnya teh, kopi, dan makanan sederhana yang ia suguhkan di puncak Lawu, di tempat yang nyaris mustahil menjadi lokasi sebuah warung.
“Benar, meninggalnya di rumah tadi sekitar pukul 13.30 WIB,” ujar juru bicara keluarga, Syaiful Gimbal. Jenazah Mbok Yem saat ini disemayamkan di rumah duka dan akan dimakamkan di pemakaman umum Desa Gonggang.
Kondisi Sempat Membaik
Kerabat Mbok Yem, Syaifudin Juhri, mengatakan bahwa kondisi kesehatan sang legenda sempat membaik meski masih menjalani rawat jalan usai dirawat karena pneumonia di RSU Aisyiyah Ponorogo sejak awal Maret. Mbok Yem dijadwalkan kembali kontrol pada Kamis (25/4), sehari setelah kepergiannya.
“Luka di kakinya itu belum sembuh dan besok itu jadwalnya untuk kontrol karena kekurangan protein jadi sulit sembuh. Kalau kondisinya sehat sebetulnya,” ujar Syaifudin saat ditemui di rumah duka.
Namun, tiga hari terakhir kondisi Mbok Yem menurun. Ia enggan makan dan minum, hanya sesekali mengonsumsi susu. Bahkan, di tengah kondisinya yang lemah, Mbok Yem sempat meminta untuk dimandikan.
“Tiga hari ini Mbok Yem tidak mau makan atau minum. Kalau minum, paling susu. Itu pun sudah jarang mau. Kemarin sempat minta mandi,” kenang Syaifudin.

Legenda yang Menyatu dengan Lawu
Nama Mbok Yem tak bisa dipisahkan dari Gunung Lawu. Sejak tahun 1980-an, ia membuka warung makan di puncak gunung setinggi 3.265 meter di atas permukaan laut. Itu tempat yang tidak hanya sunyi dan dingin, tapi juga ekstrem. Ia menjadi satu-satunya sosok yang menetap dan berdagang di puncak gunung, membuatnya bak penjaga gerbang alam.
Warung Mbok Yem menjadi oase bagi para pendaki. Teh panas, nasi pecel, dan mie instan yang ia sajikan terasa seperti kemewahan di tengah kabut dan dinginnya suhu Lawu. Harganya pun tetap bersahabat, meski untuk menyuplai bahan makanan ia harus menempuh medan ekstrem dengan cara tradisional.
Keberadaan Mbok Yem bukan sekadar penjual makanan, tetapi simbol keramahan, keteguhan, dan ketulusan. Banyak pendaki menyebutnya sebagai “ibu” di puncak, tempat terakhir yang menyambut mereka sebelum menaklukkan atau meninggalkan ketinggian.
Warungnya bukan sekadar tempat makan, tapi juga tempat bernaung, berbagi cerita, hingga berdoa. Banyak yang meyakini, doa-doa Mbok Yem turut menjaga keselamatan mereka selama pendakian.
Kini, warung itu kehilangan sosok utamanya. Dan, Gunung Lawu kehilangan penunggunya yang paling setia. (rud/mk)