DEMONSTRASI masyarakat terhadap kinerja dan kepemimpinan kepala desa semakin merebak di banyak daerah. Bukan hanya di Kabupaten Magetan yang dalam sebulan terakhir terjadi di Desa Mategal Kecamatan Parang dan Desa Malang Kecamatan Maospati. Kecenderungan demonstrasi massa disebabkan oleh ketidakpuasan kolektif atas praktek korupsi dalam pengelolaan keuangan desa dan ketidakwajaran dalam proyek pembangunan desa.
Masyarakat yang sebelumnya bersikap diam dan apatis menjadi berani menyuarakan aspirasi karena tingkat ketidakpuasan mereka dan kecurigaan mereka atas praktek menyimpang kepemimpinan kepala desa sudah titik kulminaif.
Aksi demonstrasi terhadap perilaku, kinerja dan ;praktek kepemimpinan kepala desa dalam teori sosiologis disebut sebagai bagian dari prolog civil Disobidience (pembangkangan sipil), Situasi awal dimana masyarakat (massa) sudah tidak memiliki kepercayaan kolektif (the Collective trust) . Masyarakat akan mudah curiga terhadap apa yang dinyatakan, dilakukan dan diptusakan sebagai
kebijakan oleh kepala desa. Kepala desa sebagai pemimpin sudah berada dalam situasi yang semakin luntur legitimasi moralnya dihadapan masyarakat.
Kasus kasus protes masyarakat terhadap kepala desa di Kabupaten Magetan bukan hanya terkait dengan pengelolaan anggaran desa, proyek pembangunan, pengisian perangkat namun acapkali terkat dengan moralitas pribadi. mengingat keoala desa sesungguhnya adalah referensi tentang keteladanan. Jika yang menjadi teladan tidak mampu menunjukkan perbuatan yang menggambarkan moralitas tinggi yang bisa menjadi referensi tindakan masyarakat maka akan menguat penolakan atas eksistensi kepala desa sebagai pemimpin.
Pemimpin di desa bukan semata mata soal jabatan yang dilegalsiasi SK Bupati namun jabatan yang disengkuyung oleh kepecayaan masyarakat. Di dalam politik kekuasaan disebut sebaga legitimasi sosial dan bukan sekadar otoritas legal.
Pendekatan dalam menghadapi resistensi massa terhadap kepemimpinan kepala desa yang dipersepsikan tidak “bermoral” atau menyimpang dalam kaidah moral, etika kepemimpinan dan rambu rambu regulasi bukan sekadar melakukan audit kinerja kepala desa dalam pengelolaan keuangan desa sebagai dan melakukan pemeriksaan atas program kegiatan pembangunan di desa.
Namun lebih jauh melakukan investigasi sosial untuk memberikan penilaian obejktif atas kinerja dan integritas kepala desa. resistensi massa merupakan penanda lampu kuning tentang “gunung es” permasalahan di desa terkait dengan anggaran dan proyek pembangunan yang semakin jauh dari nilai partisipatif.
Harus diakui proyek pembangunan desa yang menggunakan Dana Desa dan atau hibah anggaran APBD melalui skema Bantuan keuangan khusus daerah rawan terjadi praktek rente anggaran dan korupsi yang sifatnya transaksional. Hal ini sudah menjadi rahasia umum dan Masyarakat mengetahui hal tersebut.
Namun ibarat filosofi Jawa, bahwa perbuatan ada batas toleransi untuk dibiarkan, “ngono ning ngono yo ojo ngono”, maka masyarakat sudah pada ambang batas permisifitas untuk membiarkan penyimpangan yang terjadi dairi tahun ke tahun.
Masyarakat sebagai bagian kekuatan civil society di desa bergerak karena ambang kesabaran bersama sudah habis dan menginginkan adanya perubahan keomimpinan di desa. Pada awalnya merupakan sikap kritis dan korektif namun akhirnya berubah menjadi gerakan massa macthvorming) dengan isu pemunduran kepala desa dan atau menilak kebijakan kepala desa. Lazimnya gerakan massa terjadi karena proses dialog yang setara dalam satu pemahaman tertutup oleh arogansi kepala desa dan circle oligarkhisnya.
Lebih kronis jika kepala desa tidak menyadari kesalahan subjektifnya yang telah mendapakan koreksi dan kritisisme Masyarakat diberbagai ruang politik deliberas di desa.
Langkah untuk mencegah makin menguatnya resistensi kolektif di desa adalah; Pertama, akuntabilitas kinerja pemerintah desa khususnya kepala desa dalam dimensi pengelolaan keuangan desa, perencanaan – pelaksanaan proyek pembangunan desa dan manajemen aset desa.
Akuntabilitas penting untuk mencegah ketidakpercayaan Masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Kedua, menguatkan peran Badan Permusyawaratan desa sebagai pengawas kinerja kepala desa dalam memimpin program pemerintah desa. BPD yang mampu berperan dalam pengawasan dan juga aggregator asporasi masyarakat akan menjadi factor determinan yang mencegah adanya riak protes masyarakat.
Ketiga, penguatan organisasi masyarakat sipil di desa. Organisasi masyarakat sipil yang merepresentasikan kekuatan sektoral seperti komunitas petani, buruh tani, UMKM, pekerja informal di deesa yang tergabung dalam organisasi yang mampu menjadi kelompok penekan atas kebijakan pemerintah desa yang “semau gue”. Demikian berbagai organisasi kemasyarakatan di desa harus didorong berperan maju dalam pengawasan berbasis masyarakat.
Keempat, pembinaan pemerntah kabupaten. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini leading sector Dinas PMD harus mengkaji ulang materi pembinaan kepala desa. Materi usang harus diganti dengan materi yang baru seperti falsafah dan etika pemerintahan desa, hukum tata pemerintahan desa, anti korupsi, pemberdayan sosial, komunikasi publik dan sebagainya. Sehingga kepala desa yang dibina memahami jati dirinya sebagai pemimpin birokrasi desa dan terutama sebagai pemimpin masyarakat.
Pelanggaran administratif sampai pelanggaran berunsur pidana korupsi atau kriminal kepala desa harus ditindak tegas dan jangan sampai ada kesan melindungi dengan dalih menjaga stabilitas politik daerah dan apalagi dengan alasan untuk menjaga basis dukungan politik kepala daerah. sebagai Catatan di Kabupaten Magetan kurun 5 tahun terakhir banyak kades yang menjadi “pesakitan” di penjara karena konsekuensi perbuatan melawan hukum. Mantan kades Ngujung, Mantan kades Suratmajan, Mantan kades Ngariboyo, Mantan kades Kalangketi dan sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa kepala desa kepala desa yang berkasus hukum di Kabupaten Magetan berani melanggar prinsip integritas kepemimpinan dan banyak studi kasus mereka berani menjadi pelanggar hukum karena selalu dibiarkan. Sistem deteksi dini pelanggaran hukum oleh kepala desa melalui fungsi pengawasan inspektorat sangat prosedural yang tidak memberi peringatan keras saat tindakan pelanggaran terjadi.
Eksplosi kemarahan masyarakat yang bersikeras melakukan Machtvorming (gerakan massa) terhadap perilaku dan pelanggaran hukum atau norma sosial merupakan bukti bahwa kekuatan masyarakat sipil di desa semakin terbangun. Pemerintah desa dalam konteks demikian harus benar benar menjalankan prinsip demokrasi partisipatif dan menyelenggarakan pemerintahan atas asas good goverment.
Resistensi massa terhadap kepemimpinan kepala desa juga menunjukkan ada pertentangan kepentingan elite dengan massa. Kepentingan massa terabaikan dan tidak terakomodasi melalui saluran aspirasi formal dan non formal.
Bagaimanapun pemerintah desa dan khususnya kepala desa sejatinya adalah pelayan masyarakat yang idealnya harus medekat dengan masyarakat. Berkomunikasi dalam muruah kesetaraan atas kerangka idealitas the public servant.
Jangan biarkan desa bergejolak karena pemimpinnya tidak menjaga amanah kepemimpinan yang baik. Jangan sampai masyarakat bergerak karena sudah “jemu” dengan berbagai kebijakan-tindakan pemimpinnya yang tidak transparan apalagi koruptif. Gerakan massa adalah wujud kontrol sosial yang paling efektif. Sedangkan upaya mediasi atau kebijakan melindungi kades yang bersalah hanya akan mendorong spiralisasi aksi-reaksi yang kuat ditengah masyarakat.
Meminjam istilah Wiji Thukul : bahwa masyarakat tidak akan bisa diredam kekuatan politik massanya jika melihat penyimpangan dan ketidakadilan . hanya satu kata; “Lawan”! Konteks demikian para pemangku kebijakan seperti pemeruntah kabupaten dan lembaga perwakilan rakyat daerah perlu membangun sistem pengawasan terpadu kinerja, kebijakan, attitude dan integritas moral kepala desa. Bukan bertindak “reaksioner” ketika masalah sudah membesar dan menggerakkan enerji kritisisme masyarakat. *