Minggu, 9 Februari 2025

Mudharat Pilkada oleh DPRD

WACANA politik pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau pemilihan kepala daerah secara tidak langsung dinyatakan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pernyataan Presiden tersebut didasari argumentasi bahwa pemilihan kepala daerah langsung berbiaya politik mahal (the High political Cost). Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dianggap solusi dan menekan biaya politik Pilkada yang lazimnya  terdiri dari komponen biaya rekomendasi dukungan Partai Politik, Politik uang untuk membeli suara pemilih, dan biaya teknis penyelenggaraan Pilkada.

Pemilihan Kepala daerah oleh DPRD pernah terjadi diera Orde Baru sampai periode awal reformasi. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD terbukti dalam rekam historis hanya melahirkan kemudharatan politik antara lain :

Pertama, melanggengkan oligarkhi politik partai dan status quo (penguasa). Calon Kepala daerah yang diusulkan dan dipilih dalam forum DPRD adalah mereka yang memiliki relasi dan koneksi kepentingan status quo. Saat era Orba mayoritas calon kepala daerah yang dipilih DPRD adalah dari eksponen Militer yang didukung fraksi ABRI dan partai single Majority yakni Golkar. Tidak mengherankan apabila calon kepala daerah pada saat itu lazimnya perwira, menengah ABRI (TNI).

Kedua, pemilihan kepala daerah  oleh DPRD  memperkuat  circle kepentingan parpol yang menguasai prosentase kursi di DPRD. Dan realitas calon yang diusulkan dan dipilih adalah mereka yang memiliki relasi nepotisme dengan elite partai dan memiliki modal sosial yang kuat. Ketiga, Pemilihan calon Kepala daerah oleh DPRD menyuburkan praktek transaksional dan politik uang yang berputar di lingkungan elite partai dan elite legislator daerah. Jadi asumsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD bebas dari ongkos politik yang mahal adalah tidak berdasarikan realitas historis politik.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD terbukti hanya melahirkan pemimpin daerah yang bersikap “yes man” dan tunduk pada kepentingan pemerintah pusat. Mayoritas tidak memiliki kreatifitas dalam melahirkan program program pembangunan di daerah dan tidak memiliki marwah inovasi pelayanan publik yang pro kepentingan masyarakat. Banyak kepala daerah yang dipilih oleh DPRD loyalitas pada penguasa (status quo) dan elite partai politik dibandingkan kepada Masyarakat yang harusnya dilayani dengan kejujuran dan integritas tinggi.

Andai Mayoritas Partai politik di DPR setuju dengan pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa dimaknai sebagai tragedi demokrasi.
Demokrasi yang mengutamakan aspirasi dan kepentingan masyarakat dialihkan untuk melayani dan mengakomodasi kepentingan elite. Calon kepala daerah terpilih nantinya akan tnduk pada arahan dan kepentingan partai politik yang sekaligus menjadi mitra politik dalam pengambilan kebijakan pemerintahan daerah.

Pemilihan kepala daerah secara tidak langsung atau oleh DPRD hanya akan melanggengkan praktek transaksional dan politik suap antara kepala daerah dan anggota DPRD. Kepala daerah terpilih akan tersandera kepentingan dominan partai politik yang berkoalisi dan menguasai kursi di parlemen. Ketertundukan kepala daerah pada aroma kepentingan elite soal anggaran dan kebijakan. Suara masyarakat terabaikan dalam menentukan calon pemimpinnya yang seharusnya memiliki kriteria yang bagus dengan kapabiilitas dan integritas tinggi.

Sebenarnya biaya politik pemilihan kepala daerah secara langsung juga ulah permainan elite politik. Bermula dari kelaziman jual beli surat rekomendasi dan strategi membeli suara pemilih dengan praktek politik uang untuk meraih kemenangan dalam pilkada. Lebih Tragis lagi biaya politik mahal pilkada telah menjadi habitus yang dilegalisasi dan tidak bisa di jerat dalam pidana pemilu. Karena  penyelenggara pemilu melakukan pembiaran secara massif dan tidak melakukan langkah penegakan hukum atas praktek politk uang.

Solusi dari mahalnya ongkos politik pilkada sederhana jika dilaksanakan dengan konsisten yakni : Pertama, Penegakan hukum atas praktek politik uang dan gratifkasi politik terkait surat rekomendasi dukungan partai politik. Penegak hukum pemilu diberikan legitimasi untuk benar benar menindak praktek politik uang. Demikian aparat penegak hukum (KPK) diberikan mandat untuk menindak praktek gratifikasi politik yang melibatkan elite partai.

Kedua, revisi UU Pilkada yang mencantumkan pasal hukuman politik diskualifikasi calon kepala daerah yang terbukti secara hukum melakukan praktek membeli suara dari pemilih. Politik penghukuman diskualifikasi harus konsisten diijalankan dan tidak sekadar kalimat normatif didalam UU atau peraturan pelaksanaannya. Menjunjung tinggi marwah anti politik uang dilakukan oleh semua jajaran partai politik, penyelenggara pemilu dan calon kepala daerah yang berkontestasi.

Ketiga, edukasi pemilih secara progresif. Penyelenggara pemilu dan elemen masyarakat sipil menguatkan pendidikan demokrasi yang sehat dan anti politik uang. Pemilih harus diberikan kesadaran untuk memilih dengan akal sehat dan pertimbangan rasional. Hal ini kerja edukasi
politik yang kontinyu dan melibatkan elemen masyarakat sipil. Sehingga masyarakat memahami memilih calon kepala daerah atas pertimbangan legacy, prestasi dan integritas.

Perjuangan demokrasi adalah tetap meletakkan suara rakyat dan aspirasi publik sebagai penentu keterpilihan calon kepala daerah dan bukannya diserahkan kepada oligarki politik dan lingkaran elite
partai. Begitu. *

*Ditulis oleh: Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian Ekonomi Perdesaan

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories