Sidorejo – Cuaca di kawasan bagian Barat Kota Magetan sedang mendung. Baru tengah hari. Tapi, belum turun hujan.
Sejumlah anak-anak muda Desa Sambirobyong berkumpul di salah satu rumah warga. Mereka sedang berlatih kesenian Lesung dan Bedug atau Ledug.
Bunyi tak tok dari bekas alat penumbuk padi itu berpadu dengan tabuhan bedug dan iringan rebana. Sesekali, Latihan itu terhenti. Irama sejumlah alat yang dimainkan masih balapan.
Wahyu Diastana, sang dirijen memberikan arahan ketukan. Dan, latihan dilanjutkan.
“Kalau gak kita yang masih muda, siapa lagi?” kata Wahyu Diastana, pada suatu hari Minggu, beberapa waku lalu itu.
Wahyu dan teman-temannya tak mau kesenian tradisional asli Magetan itu tinggal kenangan. Karena, tak ada yang mau belajar, tak ada yang mau memainkan.
“Semoga diberi tempat yang baik. Pemerintah harus memikirkannya. Harus ditampilkan di berbagai acara,” imbuh Wahyu.
Hujan turun kemudian. Rintik-rintik.
Di tempat lain, masih di Desa Sambirobyong. Anak-anak usia sekolah dasar sedang berlatih tari di Sanggar Mahalawu.
Dewi Mayasari, pengelola sanggar tari, juga tak mau tari punah. Usai menempuh pendidikan tari, dia kembali ke desa.
“Ini salah satu cara kami untuk merawat seni dan memajukan desa,” katanya.
Suara hujan rintik seperti mengiringi sekitar 20 anak yang sedang belajar menari itu.
Desa Sambirobyong mau jadi desa seni dan budaya. Sudah lebih dari satu dekade desa yang berjarak 4 kilometer dari pusat kota itu, memberi perhatian terhadap seni dan budaya.
Komunitas Reog Ponorogo Gagrak Magetan yang kiprahnya sudah menasional juga diinisiasi di Desa Samborobyong.
“Setiap tahun kami akan konsisten adakan festival seni agar pemerintah desa bisa mengakomodir pelaku-pelaku seni di Desa Sambirobyong sekaligus mengenalkan Desa Sambirobyong,”kata Kepala Desa Sambirobyong, Sukarna.
Menjelang sore, hujan reda. Sudah terang langit di atas Desa Sambirobyong, seterang harapan menjadi desa seni di Magetan. (far/mk)