Minggu, 20 April 2025

Catatan Seorang Bacabup (Batal Calon Bupati) – Bagian 2

THE FIGHTER

Dalam sebuah pilkada, relasi antara partai politik, calon kepala daerah dan masyarakat seringkali dalam posisi yang “unik”. Idealnya relasi ketiganya adalah sebangun. Masyarakat menghendaki calon kepada daerah yang kredibel sesuai ekspektasi mereka, dan parpol menangkap aspirasi tersebut lalu mencari calon kepala daerah yang sesuai kriteria partai.

Kontruksi ideal tersebut, saat ini sulit terwujud. Faktor-faktor yang telah saya uraikan di tulisan sebelumnya menjadikan parpol dan calon kepala daerah harus realistis dengan kondisi yang ada. Harapan besar masyarakat pemilih, harus dikompromikan dengan realitas politik, dimana parpol pengusung harus mempertimbangkan “kemampuan” para bakal calon untuk bisa memenangkan pilkada. Istilah 3J yang berarti Jeneng (nama atau popularitas), Jenang (diterjemahkan dengan dana) dan Jaringan (jejaring di masyarakat) menjadi faktor penting.

Pengalaman saya dalam pra-kontestasi membuktikan bahwa ketiga faktor diatas menjadi modal awal yang selalu dipertanyakan. Setelah ketiga faktor itu, pertimbangan hasil survei elektabilitas, komposisi pendanaan dan tentunya lobi politik untuk mendapatkan pasangan yang ideal menjadi pertimbangan utama parpol dalam menetapkan pasangan calon kepala daerah.

Realitas politik di negara kita memang masih seperti itu. Semangat demokrasi yang lebih memberi peran kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik, sering terdistorsi kepentingan parpol dan elit politik. Hal ini tidak hanya terjadi di “politik lokal” namun sudah menjadi gejala umum proses demokratisasi di negara kita.

Maka saya menjadi sangat paham jika beberapa kolega di parpol mengatakan jika ingin menjadi kepala daerah dan ikut kontestasi pilkada, harus memiliki jiwa petarung (fighter). Pertarungan awal terjadi sejak memutuskan diri siap berlaga di arena pilkada. Terutama kesiapan mental dan hati nurani untuk menghadapi dunia politik yang keras.

Di pra-pilkada, pertarungan dilakukan demi memperebutkan rekomendasi parpol untuk bisa mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah. Pertarungan ini dilakukan baik sesama kader maupun dengan kandidat non-kader. Selanjutnya, pertarungan antar pasangan calon kepala daerah dalam kampanye untuk merebut simpati masyarakat agar terpilih sebagai kepala daerah. Pertarungan di tahap ini bisa “habis-habisan”. Calon kepala daerah, selain adu strategi pemenangan, juga harus mengkalkulasi “amunisi” untuk bisa meraih kemenangan secara efektif dan tentunya paling low-cost .

Setelah itu masuk proses perhitungan suara. Pertarungan terjadi untuk mengawal perolehan suara pasangan calon kepala daerah agar tidak dicurangi. Sudah menjadi rahasia umum, proses rekapitulasi suara dari TPS hingga perhitungan akhir menjadi isu kritikal kemenamgan calon pasangan. Lengah dalam pengawalan suara bisa menyebabkan kemenangan akan berubah menjadi kekalahan.

Hasil perhitungan suara akhir akan menetapkan siapa pemenang pilkada. Siapa pun pasangan yang menang dan yang kalah akan tetap “bertarung” memikirkan bagaimana untuk pengembalian investasi yang telah digunakan..

Bagi pasangan pemenang, pengembalian dana bisa lebih dimungkinkan, ditengah ketatnya regulasi yang mendorong akuntabilitas pengelolaan anggaran APBD serta semakin kuatnya pengawasan dari masyarakat. Sedangkan bagi pasangan yang kalah, semestinya semua risiko sudah dihitung sebelumnya sehingga pertarungan untuk mengembalikan investasi politik sudah bisa diprediksi.

Sekali lagi itu semua realitas politik. Saya tidak sedang membuat justifikasi benar-salah. Semua tergantung kepada pribadi masing-masing untuk menjalani. Saya sangat respek terhadap semua “petarung” yang sedang berjuang karena pertarungan itu tidaklah mudah.

Namun saya juga berharap semua realitas politik tersebut, juga harus dicermati, dikritisi dan diperbaiki untuk mencapai titik keseimbangan kepentingan antara kepentingan masyarakat, parpol pengusung dan para calon kepala daerah.

Setidaknya kondisi keseimbangan yang diharapkan tersebut adalah terpenuhi keinginan masyarakat untuk mendapatkan kepala daerah yang amanah dan kompeten. Di sisi lain, parpol dapat menjalan fungsinya sebagai mesin demokrasi yang sehat dan tidak selalu terjebak pragmatis. Dan terakhir, para calon kepala daerah nantinya terpilih dari sosok yang memiliki kredibilitas dan kompetensi mengelola amanah memimpin suatu daerah. Fokusnya untuk memajukan daerahnya, bukan untuk orientasiv tentang pengembalian “investasi politik”.

Saya berharap, siapapun pasangan kepala daerah yang terpilih, akan mampu memajukan Magetan dan mensejahterakan rakyatnya. Semoga …

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories