MEMAHAMI REALITAS POLITIK
Pendaftaran pasangan calon kepala daerah ke KPU sudah ditutup. Masing-masing daerah sudah mengetahui siapa calon kepala daerah yang diusung partai politik yang ada. Meski di ujung waktu mendekati masa pendaftaran terdapat Keputusan MK, yang membolehkan parpol dengan threshold tertentu dapat mencalonkan pasangannya sendiri, namun secara umum tidak terlalu terpengaruh dalam konstelasi pencalonan pasangan kepala daerah yang sudah berjalan hampir setahun ini.
Sebagai salah satu bakal calon Bupati yang akhirnya menjadi “batal” calon, saya ingin menuliskan perspektif dan sedikit pengalaman mengikuti pilkada. Perspektif ini tentu dipengaruhi oleh pengalaman saya sebagai “newbie” alias pendatang baru di kancah perpolitikan khususnya di Kabupaten Magetan.
Mengikuti pilkada bukan hal yang mudah. Ujian pertama tentunya adalah meyakinkan parpol untuk mau mencalonkan seseorang menjadi calon kepala daerah. Ujian keduanya tentu adalah meyakinkan masyarakat untuk mau memilih yang bersangkutan dan menang sebagai kepala daerah. Untuk bisa melewati kedua ujian tersebut, saya melihat ada lima faktor yang sangat mempengaruhi.
Kelima faktor tersebut adalah 1) Mekanisme internal partai politik untuk menberikan rekomendasi, 2) Tingkat popularitas dan elektabilitas calon, 3) Mekanisme penetapan pasangan calon, 4) Tingginya Biaya Politik dan 5) Perspektif masyarakat terhadap pilkada dan calon kepala daerah itu sendiri.
Rekomendasi dari partai politik adalah surat sakti yang dikejar oleh para bakal calon kepala daerah. Setiap partai politik memiliki mekanisme sendiri untuk memberikan surat tersebut. Sebagai surat sakti, banyak pihak di internal partai maupun di luar struktur partai merasa berkepentingan untuk membantu mendapatkannya. Repotnya selain banyak “jalur”, urusan rekomendasi juga sering terdapat perbedaan pandangan antara tingkatan DPC Kabupaten, DPD Provinsi hingga DPP di Jakarta.
Untuk mendapatkan surat sakti tersebut juga tidak murah. Masing-masing partai mematok “mahar” yang berbeda untuk setiap kursi DPRD sesuai kebijakan internal. Urusan rekomendasi inilah yang sering kali membuat calon kepala daerah “terpental” baik karena mekanisme internal partai ataupun murni urusan “amunisi” yang tidak mencukupi.
Urusan popularitas dan elektabilitas calon kepala daerah juga sangar penting. Keduanya harus sejalan, karena popularitas saja tidak cukup. Rakyat harus tertarik untuk memilih yang bersangkutan (elektabilitas). Mengerek popularitas dan elektabilitas juga membutuhkan biaya besar. Kebutuhan memanage “brand image” baik melalui berbagai saluran media dan kegiatan diperlukan untuk menciptakan top of mind di benak pemilih.
Yang ketiga adalah soal pasangan calon. Pada saat proses pendaftaran menjadi calon kepala daerah, partai politik harus sudah menetapkan pasangan calon yang diajukan. Proses kesepakatan calon kepala daerah dan wakilnya ini tidak mudah dan melalui negosiasi yang panjang.
Pasangan calon harus saling menguatkan dan “mengisi” agar dapat memenangkan pilkada. Selain harus bisa mengakomodasi kepentingan semua partai pengusung, penetapan pasangan calon juga harus bisa meningkatkan elektabilitas, sekaligus untuk berbagi (sharing) pendanaan pilkada yang memang tidak murah.
Dinamika politik dan kompromi antar partai, menyebabkan tidak mudah bagi calon kepala daerah bisa “independen” menentukan wakilnya. Dalam.beberapa case , fenomena “kawin paksa” menyebabkan kepemimpinan pasangan kepala daerah menjadi tidak efektif.
Yang keempat adalah biaya politik pilkada yang tinggi. Untuk pilkada kabupaten/kota, setiap pasangan calon bisa menghabiskan dana Rp 25-50 Milyar tergantung lokasi daerahnya. Di tingkat pemilihan provinsi tentu lebih besar lagi.
Kalkulasi biaya, bahkan sering diistilahkan investasi politik, pastinya mengerucut kepada dua pertanyaan : Bagaimana calon kepala daerah mempersiapkan dana dan bagaimana dana yang sudah dikeluarkan bisa kembali atau “balik modal” pada saat calon terpilih sebagai kepala daerah atau bahkan jika yang bersangkutan tidak terpilih.
Seluruh proses kontestasi memang memerlukan pendanaan. Namun saat ini, apalagi setelah pilpres dan pileg 2024 yang diistilahkan “brutal”, biaya politik pilkada menjadi sangat tidak realistis. Kondisi ini tentu berpengaruh terhadap sisi kemanpuan dan kualitas para calon. Jangan harap calon yang memiliki kompetensi, kemampuan dan kepemimpinan yang teruji namun tidak memiliki kecukupan “amunisi” bisa maju ke ajang pilkada. Realitas politik memang seperti itu.
Terakhir adalah perspektif masyarakat terhadap pilkada dan calon kepala daerah itu sendiri. Pilkada adalah pesta demokrasi. Dalam sebuah pesta, dianalogikan semua pihak harus senang dan mendapatkan “jatah” nya. Maka warga masyarakat pun ikut menentukan tarif atau harga “suara” yang dimiliki.
Saya tidak sedang memberi justifikasi benar-salah. Namun realitas di lapangan, apapun namanya, apakah itu “serangan fajar”, biaya partisipasi, uang jalan dan sebagainya, tetaplah menjadi biaya politik yang harus dihitung cermat oleh calon kepala daerah. Komponen biaya tersebut bisa mencapai 50% lebih dari total biaya yang dikeluarkan para calon kepala daerah.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dan menjadi parameter kemenangan kontestasi pilkada. Bisa jadi karena politik itu sangat dinamis, parameter yang dipertimbangkan bisa lebih dari 5 faktor tersebut. Keputusan yang diambil partai politik tentunya sudah mempertimbangan berbagai kombinasi dan simulasi beberapa faktor hingga akhirnya keluarlah sebuah rekomendasi untuk pasangan calon kepala daerah. (Bersambung bagian kedua) *
*Mohamad Nur Sodiq