Di Magetan, dua lembaga survei tengah mencuri perhatian. Republic Research, dengan logo yang entah mengapa mirip desain poster seminar kampus, menyatakan bahwa Sujatno-Ida Yuhana Ulfa unggul telak dengan 44,20% suara. Tapi tunggu dulu, The Republic Institute, yang logonya lebih serius seperti instansi negara, memberikan cerita berbeda: Hergunadi-Basuki Babussalam memimpin dengan elektabilitas 38,6%. Dua hasil ini bagai langit dan bumi, seolah-olah pemilih Magetan hidup di dua dunia yang berbeda.
Perbedaan ini bukan hanya soal angka. Republic Research, meskipun namanya gagah, tampaknya kurang dikenal di kancah survei nasional. Sementara itu, The Republic Institute yang dipimpin oleh Dr. Sufyanto, seorang akademisi dengan rekam jejak kuat di survei politik, memiliki kredibilitas yang lebih teruji. Namun keanehan tetap terasa: bagaimana mungkin survei dari wilayah yang sama, dengan waktu pelaksanaan yang tak terlalu jauh, menghasilkan narasi politik yang begitu bertolak belakang?
Yang menarik, kedua lembaga ini tampaknya tidak terdaftar sebagai anggota Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), asosiasi yang menaungi lembaga survei dan memastikan standar etika serta metodologi mereka. Ini bukan tudingan, melainkan keraguan yang wajar: tanpa pengawasan asosiasi, siapa yang memastikan hasil survei ini benar-benar cerminan suara rakyat?
Survei dalam demokrasi adalah alat penting. Ia berfungsi sebagai cermin yang memantulkan aspirasi rakyat. Bagi kandidat, survei adalah peta untuk menentukan arah kampanye. Bagi partai politik, survei menjadi panduan untuk memahami isu yang relevan bagi masyarakat. Bagi pemilih, survei memberikan gambaran tentang dinamika politik lokal. Namun, ketika dua cermin ini memberikan bayangan yang berbeda, kita perlu bertanya: apakah ada yang salah dengan cerminnya, atau memang bayangan itu disengaja?
Survei bisa menjadi senjata politik jika tidak transparan. Dalam masyarakat yang belum terbiasa memeriksa kredibilitas data, angka-angka survei yang dipoles bisa membelokkan persepsi publik. Di tangan yang salah, survei berubah dari alat demokrasi menjadi alat propaganda. Angka-angka yang dimanipulasi bisa membunuh optimisme kandidat lawan atau membangun ilusi kemenangan untuk kandidat yang diunggulkan.
Fenomena ini bukan hal baru. Kita masih ingat pada Pilpres 2019, ketika beberapa lembaga survei dipanggil oleh Persepi untuk menjelaskan perbedaan metodologi mereka. Transparansi seperti ini penting untuk menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik. Tetapi bagaimana dengan lembaga yang tidak tergabung dalam asosiasi seperti Persepi? Siapa yang memeriksa mereka?
Persepi memainkan peran penting sebagai penjaga etika survei. Mereka memastikan bahwa lembaga survei anggotanya bekerja sesuai standar yang ilmiah dan bertanggung jawab atas hasil yang mereka rilis. Ketika ada hasil survei yang mencurigakan, Persepi memberi ruang bagi publik untuk meminta klarifikasi. Namun, lembaga survei yang berada di luar asosiasi sering kali menimbulkan keraguan. Tanpa pengawasan, hasil mereka rawan digunakan sebagai alat propaganda ketimbang cerminan realitas.
Jika lembaga survei ingin tetap relevan, mereka harus transparan dan bertanggung jawab. Tapi tanggung jawab ini tidak hanya ada pada mereka. Pemerintah atau lembaga independen perlu menciptakan regulasi yang lebih ketat. Semua lembaga survei, baik yang tergabung dalam asosiasi maupun tidak, harus mengikuti standar yang sama. Ini bukan untuk membatasi, melainkan untuk melindungi kepercayaan publik terhadap data yang mereka sajikan.
Seperti kata George Orwell, “Di zaman penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Dalam dunia survei politik, kebenaran hanya bisa dibangun di atas data yang jujur dan transparansi yang kuat. Survei harus kembali pada esensinya: menjadi pengukur suara rakyat, bukan alat pembentuk opini palsu.
Di Magetan, perbedaan hasil survei Republic Research dan The Republic Institute adalah pengingat bahwa survei bukan kitab suci. Ini hanyalah potret sesaat, bukan realitas mutlak. Sebagai masyarakat, kita harus bertanya: siapa yang mendanai survei ini? Bagaimana metodologinya? Apakah lembaga ini bekerja sesuai standar yang semestinya?
Saat Pilkada Magetan mendekat, mari kita belajar menjadi pemilih yang lebih kritis. Jangan mudah terjebak oleh angka, tetapi gunakan angka itu sebagai alat untuk memahami lebih jauh. Karena demokrasi yang sehat tidak hanya membutuhkan kandidat yang baik, tetapi juga masyarakat yang cerdas dalam membaca dan menilai data.
Seperti kata seorang bijak, “Statistik adalah seni kebohongan jika tidak dipegang oleh tangan yang jujur.” Mari kita dorong lembaga survei untuk lebih jujur, dan diri kita sendiri untuk lebih bijak. Di Pilkada Magetan, atau di mana pun, demokrasi seharusnya tetap menjadi cermin keadilan, bukan panggung manipulasi. *
*Ditulis oleh: Diana AV Sasa, Mahasiswa Pasca Sarjana, Prodi Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada