Kamis, 13 Februari 2025

Menilai Pemimpin dari Panggung Debat: Antara Retorika dan Realita

Hari Kamis, 17 Oktober, Magetan menggelar debat Pilkada. Temanya besar: “Mewujudkan Magetan Berbudaya dan Berdaya Saing Global.” Tapi, sayang seribu sayang, alih-alih jadi ajang adu gagasan segar, debat ini terasa hambar. Bukan hanya karena teknisnya kurang mendukung, tapi juga karena banyak calon terlihat tidak siap. Namun begitu, debat seperti ini tetap penting. Tidak hanya bagi paslon, tapi juga bagi pemilih yang masih ragu—yang belum yakin siapa yang harus mereka pilih.

Di tengah dinamika demokrasi kita, debat bukan sekadar formalitas. Ia adalah tempat di mana kompetensi diuji dan visi dibedah. Apa yang disampaikan di panggung itu bisa memberi gambaran, mana calon yang benar-benar tahu persoalan dan mana yang hanya berbicara manis. Pemilih cerdas butuh bahan pertimbangan. Mereka tidak cukup dengan janji-janji di baliho, tapi ingin melihat siapa yang benar-benar siap memimpin.

Kritik Debat Pertama: Panggung Gagasan yang Belum Matang

Ada beberapa masalah dalam debat kali ini. Pertama, tidak ada podium. Ini membuat paslon terlihat kerepotan. Mereka tidak punya tempat menulis catatan, sehingga banyak yang menyampaikan ide tanpa arah jelas. Padahal, dengan durasi hanya 60 detik, mereka butuh struktur argumen yang rapat dan ringkas. Kedua, tidak ada panelis ahli. Ini menyebabkan debat terasa berantakan karena tak ada penjelasan awal yang memberikan kerangka tentang tema besar “Magetan Berbudaya dan Berdaya Saing Global.” Debat jadi lebih mirip ajang orasi tanpa arahan, kaya kata-kata tapi minim isi.

Yang lebih mengganggu, beberapa paslon malah lebih sibuk mengajak masyarakat untuk memilih ketimbang menawarkan solusi konkret. Bukannya fokus memaparkan program, mereka seperti lupa bahwa debat adalah panggung adu ide, bukan kampanye terbuka. Ini menunjukkan kurangnya persiapan. Dalam waktu sependek itu, butuh latihan agar pesan bisa disampaikan dengan tepat dan efektif.

Ada juga adegan konyol di mana incumbent eksekutif dan legislatif saling mempertanyakan kebijakan yang mereka buat sendiri. Ini menimbulkan kesan mereka hanya saling serang, bukannya menyampaikan visi untuk masa depan. Akhirnya, publik bisa melihat jelas: mana yang tampil sungguh-sungguh dan mana yang hanya retorika. Pemimpin tidak hanya soal bicara, tapi juga soal ketulusan dan kemampuan untuk memberi solusi.

Debat dan Pemilih yang Masih Ragu

Tidak bisa dipungkiri, debat tidak selalu menentukan kemenangan. Tapi, debat bisa jadi referensi penting bagi pemilih yang belum menentukan pilihan. Di Magetan, debat adalah kesempatan untuk membandingkan para kandidat secara langsung. Dari bahasa tubuh, gaya bicara, dan cara mereka menjawab pertanyaan, masyarakat bisa menilai mana calon yang punya kapasitas dan mana yang hanya bergantung pada gimmick atau pencitraan.

Ketika paslon tidak siap atau asal bicara, itu akan langsung terlihat. Di era keterbukaan seperti sekarang, publik tidak mudah dibodohi. Apalagi bagi pemilih muda yang aktif di media sosial. Mereka tidak akan memilih hanya berdasarkan kata-kata manis, tapi juga melihat kredibilitas dan sikap calon selama debat.

Bagi mereka yang masih ragu, debat memberikan wawasan tambahan. Dengan mendengar langsung, mereka bisa menimbang dengan lebih jernih. Apakah calon ini benar-benar memahami persoalan Magetan? Apakah ia mampu menawarkan solusi yang masuk akal? Atau sekadar menyusun janji tanpa dasar?

Debat dan Ketahanan Sosial Magetan

Tema “Magetan Berbudaya dan Berdaya Saing Global” sebenarnya mengandung tantangan besar. Bagaimana pemimpin daerah bisa mempertahankan nilai-nilai lokal, sambil membawa inovasi agar bisa bersaing di kancah global? Ini tidak mudah. Pemimpin yang hanya pandai bicara tapi minim pemahaman akan sulit menjalankan visi sebesar ini.

Dalam teori ketahanan nasional, aspek sosial-budaya sangat penting. Ketahanan suatu daerah bukan hanya soal ekonomi atau keamanan, tapi juga bagaimana budaya lokal dijaga dan dikembangkan. Pemimpin yang baik bukan hanya mampu membangun infrastruktur, tapi juga memperkuat identitas masyarakatnya. Inilah yang akan menentukan sejauh mana Magetan bisa bertahan menghadapi perubahan global.

Tapi, dari debat kemarin, terlihat bahwa beberapa paslon kurang menggali isu ini dengan serius. Kebanyakan bicara normatif, tanpa penjelasan konkret tentang bagaimana budaya dan potensi lokal bisa dioptimalkan untuk bersaing secara global. Padahal, pemimpin daerah yang sukses harus punya kemampuan membaca peluang dan tantangan dengan tajam.

Belajar dari Debat untuk Pilihan yang Lebih Baik

Meski banyak kekurangan, debat Pilkada tetap penting. Ia menjadi cermin bagi masyarakat untuk melihat siapa yang benar-benar siap dan siapa yang hanya berpura-pura. Pemilih tidak lagi sekadar melihat siapa yang paling populer, tapi siapa yang paling kompeten dan tulus. Dari sini, kita bisa berharap bahwa proses Pilkada menjadi lebih bermakna, bukan sekadar rutinitas politik lima tahunan.

Ke depan, debat harus diselenggarakan dengan lebih baik. Panelis ahli dan struktur debat yang jelas mutlak diperlukan agar diskusi lebih fokus. Paslon juga harus lebih serius mempersiapkan diri. Mereka harus paham, debat bukan soal menang atau kalah di panggung, tapi soal menyampaikan visi dan misi dengan jelas dan meyakinkan. Debat adalah bagian dari proses pendidikan politik. Masyarakat harus diberi ruang untuk melihat langsung siapa calon pemimpin mereka.

Magetan butuh pemimpin yang tidak hanya mampu bicara, tapi juga bisa bekerja nyata. Sebab, dalam demokrasi, suara pemilih adalah mandat yang harus dijalankan dengan tanggung jawab dan hati. Semoga kita bisa belajar dari debat ini untuk masa depan yang lebih baik. (*)

*Ditulis oleh: Diana Sasa, Mahasiswa Pascasarjana, Prodi Ketahanan Nasional, Universitas Gadjah Mada.

Berita Terkait

Hot this week

Berita Terbaru

Advertisementspot_img
- Advertisement -

Popular Categories