TIDAK pernah terbayang sebelumnya menjadi bupati. Walau pendidikan tinggi saya peroleh sebagai sarjana ilmu pemerintah Fakultas Sospol UGM lulus tahun 1982. Pada masa Orde Baru banyak alumni Sospol UGM yang menjadi bupati/walikota. Bahkan Gubernur. Karena memang pimpinan daerah waktu itu dipilih DPRD, tapi diangkat oleh pemerintah pusat. Jadi tergantung penguasa yaitu pemerintah pusat. Dan biasanya, yang banyak diangkat dari kalangan PNS dan TNI. Dianggap berpengalaman dalam pengelolaan pemerintahan.
Sebagai orang desa, lahir di Maospati, Kabupaten Magetan inginnya kerja yang jauh. Jakarta menjadi pilihan. Bekerja di Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Luar Negeri menjadi pilihan utama. Rasanya kok keren bekerja di Jakarta. Waktu itu belum tahu bagaimana berkarir di pemerintahan. Yang penting bisa masuk. Apalagi mencari kerja waktu juga masih sangat mudah.
Manusia berencana, tapi Tuhan yang menentukan. Garis tangan justru membawa saya masuk di Departemen Penerangan. Dan kemudian ditempatkan di Kanwil Deppen Provinsi Jawa Timur. Ketika bekerja di sini, cakrawala dan integritas saya ditempa. Bagaimana berkarir, bekerja sambil menimba ilmu. Ya diminta jadi dosen, diajari menulis, dipaksa terus sekolah. Baik sekolah formal maupun kedinasan. Saya beruntung selalu bertemu dengan orang-orang dan pimpinan yang baik. Tentu lingkungan dan pimpinan saya yang baik ikut membentuk dan mewarnai kepribadian saya selanjutnya. Utamanya diasah kepekaan dan bagaimana bekerja dengan selalu mementingkan kepentingan masyarakat banyak.
Ketika Gus Dur menjadi presiden tahun 1999 Deppen dan Depsos dibubarkan. Ketika itu saya sudah menjabat sebagai kepala bidang. Semua karyawan melimpah ke Pemda Provinsi Jawa Timur. Blessing in disguise, justru setalah di Pemda Provinsi Jatim saya merasa di sini karier saya melaju semakin cepat. Tahun 2001 saya diangkat sebagai Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi. Termasuk pejabat yang muda, karena usia saya baru 44 tahun.
Malahan tahun 2005, saya diminta Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu sebagai Kepala Badan Informasi Publik/Dirjen Informasi Publik. Kemudian mutasi menjadi Staf Ahli Menteri, Irjen dan terakhir sebagai Sekretaris Jenderal. Selama empat belas tahun menjadi eselon satu di Kemkominfo, saya sengaja tidak memiliki sekretaris atau pengawal pribadi. Selain, hanya memiliki sekretaris yang memang staf tata usaha selama jam kantor. Sehari-hari hanya dengan pengemudi. Tidak ada lain. Bahkan kalau habis dinas luar, kalau pulang ke rumah, di luar jam dinas, saya lebih memilih naik bis Damri.
Semua itu saya lakukan meniru pimpinan saya terdahulu yang mengajarkan kesederhanaan dan juga pertimbangan praktis saja. Supaya tidak merepotkan orang lain dan lebih efisien. Toh saya juga bisa melakukan sendiri. Agar juga terbiasa dengan transportasi umum. Selain ikut membantu mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di Jakarta, yang terbiasa dengan makanan sehari-hari yaitu kemacetan.
Kebiasaan itu saya bawa juga ketika menjadi Bupati Magetan sejak 24 September 2018 setelah pensiun dari PNS. Sering saya juga selalu mengambil jalan praktis. Kemana-mana sering sendiri. Utamanya acara yang tidak formal seperti olah raga, jalan-jalan, atau pergi yang ingin dilakukan kalau lebih baik sendiri. Awalnya sekretaris pribadi maupun pejabat pemda terheran-heran. Demikian juga mungkin masyarakat Magetan. Sudah menjadi budaya ya mungkin, menganggap bupati yang masih dipandang sebuah jabatan yang sulit disapa dan disentuh.
Ada cerita yang kadang terasa lucu dan kadang malah absurb. Saya punya kebiasaan seminggu minimal dua kali olahraga. Yang sering saya lakukan adalah sepedaan, jalan kaki, main basket, treadmill dan olah raga lainnya. Dan yang pasti, sering saya lalukan sendirian. Waktunya tidak tentu. Kalau tidak bisa pagi, sore bahkan malam hari.
Suatu saat, karena pagi dan sore tidak ada waktu, akhirnya malam hari jam 23.00 saya keluar berolahraga naik sepeda. Putar kota sekalian patroli melihat suasana malam. Lagi enak-enak mengayuh sepeda, di jalan yang cukup sepi, ada dua sepeda motor berboncengan menyalip saya dengan cukup kencang dengan suara kenalpot yang cukup nyaring. Jarak sekitar seratus meter di depan saya, tiba-tiba direm mendadak. Dan sepeda motor diparkir sengaja agak menutup jalan. Menghalangi saya. Dalam hati, ada apa?
Tentu saya harus mengambil sikap hati-hati. Setelah mendekat saya sengaja dihentikan, ”Pak bupati ya. Kok malam-malam sepedaan sendiri pak. Kok tidak dikawal.” Saya kemudian berhenti, ”Ya dik. Olahraga kok. Nggak apa-apa. Sambil lihat suasana malam kota. Sendiri apa tidak boleh.” Saya mendekat sambil tersenyum. Tiba-tiba salah satu dari empat anak muda tadi menyahut,”Pak boleh minta foto!!!” Waduh!!! Tentu saja saya membolehkan. Malah minta selfie segala haaaaaa. Tiwas sudah was-was dalam hati.
Hari Minggu pagi sekitar jam 07.00 saya olahraga jalan kaki. Sejam saja, karena masih ada agenda selanjutnya. Ngambil rute dalam kota. Kemudian saya mampir di alun-alun. Kebiasaan saya sambil cek kondisi alun-alun, saya memunguti sampah plastik yang sering dibuang sembarangan oleh pengunjung. Walau kondisi saat ini sudah jauh lebih baik, masih ada saja yang membuang sampah sembarangan.
Sambil memunguti sampah plastik di rerumputan, kemudian saya menuju sekitar pohon beringin yang berada di tengah alun-alun. Di bawah pohon beringin, sengaja dibuatkan tempat duduk. Pengunjung banyak yang duduk di bawah pohon beringin, sambil berteduh tentunya. Selain memang rindang, juga kelihatan nikmat memandang kehijauan rumput terhampar.
Tepat di depan empat perempuan muda yang sedang duduk sambil makan, tergeletak plastik bekas tempat makanan yang penuh dengan saus. Sambil mengambil sampah saya bilang, ”Nyuwun sewu mbak!!!” Ketika saya melangkah pergi, tiba-tiba salah satu nyletuk, ”Pak sampahnya jatuh.” Tentu saja saya kemudian balik lagi sambil memungut sampah yang memang jatuh tepat di depannya. Bahkan didekat kakinya. Keempat wanita muda itu memandang saya dengan perasaan tidak bersalah.
Ketika saya berjalan sepuluh langkah, berpapasan dengan pasangan suami istri yang sedang menggendong anaknya berusia satu setengah tahun, ”Lo Pak Bupati!!! Sampah sudah saya buang di tempat sampah lo Pak. Pak boleh minta foto. Nak ayo foto dengan Pak Bupati, nanti biar seperti Pak Bupati.” Sambil tersenyum menggendong putranya saya bilang,”Jangan ya nak, saya doakan jadi presiden, menteri atau gubernur.” Saya dimana-mana selalu meminta anak-anak punya mimpi yang tinggi.
Tentu akibatnya, yang lain dan duduk agak jauh hampir semua mendekat bergantian minta foto. Semua saya layani. Tiba-tiba empat perempuan yang duduk di bawah pohon beringin tadi mendekat,” Maaf Pak Bupati. Saya betul-betul minta maaf. Saya tidak mengira dan tidak tahu kalau Pak Bupati. Saya bukan orang sini pak. Saya orang Bekasi yang kebetulan lagi main di keluarga Magetan.” Ujung-ujung akhirnya juga minta foto,” Pak saya boleh minta foto.” Nampak tersipu malu. Ya saya dengan senang hati melayaninya, sambil menyampaikan agar ikut menjaga kebersihan dimana pun.
Saya juga sering ditanya bagaimana membagi waktu antara pekerjaan yang demikian padat sebagai bupati masih sempat menulis. Tentu saya harus pandai membagi waktu. Bahkan kenyamanan sering saya kalahkan kalau sudah deadline. Naskah harus dikirim dan ditunggu. Sedang saya ada acara di Surabaya. Akhirnya saya putuskan naik kereta api ekonomi Sri Tanjung dari stasiun Magetan yang berangkat jam 09.23.
Walau kereta ekonomi, tidak pernah terlambat. Sampai menit tepat. Sehingga bisa merencanakan acara dengan tenang. Mobil sengaja saya minta jemput di stasiun Surabaya. Di dalam kereta saya segera mengeluarkan laptop. Terus asyik ngetik tanpa memperdulikan sekeliling.
Tiba di stasiun Madiun, ada seorang perempuan setengah baya naik bawa kopor besar duduk di depan saya. Kemudian njawil lengan saya,” Pak minta tolong naikkan kopor saya ya Pak.” Saya langsung meletakkan laptop di samping saya terus mengangkat kopor yang cukup besar ke tempat bagasi. Kemudian saya melanjutkan ngetik naskah.
Sampai Jombang naskah selesai. Langsung saya email ke redaktur Jawa Pos Radar Madiun. Seperempat jam kemudian sampai di Mojokerto, ada petugas PT KAI yang memakai seragam lewat di samping saya tiba-tiba balik lagi. “Lo Pak Bupati. Kok naik kereta api ekonomi,” sambil melihat dan meyakinkan diri. Kelihatan takut salah karena saya pakai masker rangkap dua. Saya langsung jawab,”Ya nggak apa-apa mas. Saya pecinta kereta api lo.”
Kemudian yang bersangkutan mengenalkan diri kalau warga saya. Asli dari kecamatan Barat. Kembali lagi, akhirnya minta foto. Tentu mbak yang minta tolong mengangkatkan kopor jadi salah tingkah. Langsung minta maaf. Saya juga yakinkan bahwa saya sampaikan tidak apa-apa. Sudah selayaknya saling membantu dalam arti yang baik.
Saya hobi mengajar. Bahkan mengajar sejak tahun 1986. Kebiasaan saya ketika mengajar di Malang, ketika masuk pintu tol Waru karena hari Jumat, banyak Marinir yang berdiri di pintu tol. Saya sudah tahu kalau mencari tumpangan ke arah Malang. Langsung saya berhenti. Dan saya minta masuk ikut. Kebetulan mobil saya Kijang.
Pertimbangan, toh saya naiki sendiri dengan bersama orang lain bensinya sama habisnya. Kebiasaan itu saya lakukan selama saya mengajar di Malang sekitar sepuluh tahun. Kalau beruntung, ada yang di kantor sebagai driver. Kemudian dengan sukarela menggantikan saya mengemudi. Tentu saya bisa istirahat.
Ketika jadi bupati, kadang kalau ke Surabaya saya nyetir mobil sendiri. Agar tidak lupa dan sekaligus menjaga reflek dan instink mengemudi. Ketika pulang ke Magetan, di atas tol Waru menuju Madiun ada seorang Marinir yang berdiri di tepi. Naluri saya mengatakan, pasti mencari tumpangan. Langsung saya menepi. Saya minta naik. Saya mengemudi yang bersangkutan duduk depan. Di samping saya. Kebetulan turun di Kertosono, karena rumahnya di Kediri. Kemudian ngobrol macam-macam selama perjalanan. Mulai profesi sampai keluarga. Ketika saya didesak bekerja apa di Magetan saya sengaja tidak mengaku.
Menurutnya wajah saya kok sudah familiar. Ya saya bilang sambil tertawa, ”Kaya Pak Jokowi ya, wajah saya !!!” Ketika sampai pintu keluar Kertosono berhenti. Kemudian yang bersangkutan minta ijin selfie.
Sambil mengambil foto didekat wajah saya, kemudian saya berbisik,” Saya Suprawoto Bupati Magetan.” Kemudian saya segera tancap gas. Dan saya lihat dari kaca spion yang bersangkutan masih berdiri melihat mobil saya yang semakin menjauh. *
*Ditulis oleh: Suprawoto, (Bupati Magetan 2018-2023), sumbangan tulisan ini untuk magetankita.com, Intijatim.id, Seputarjatim.co.id.